Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #5

Dewanti: Wanita Dari Masa Lalu - NEW

Tepat pada malam di hari yang sama segera digelar Tasyakur Binni’mat atas kehamilan Ratri dengan mengundang hampir semua tetangga di lingkungan rumahnya. Tahmid, Tasbih dan Takbir bergema memuji kebesaran Allah Sang Pemberi Nikmat Sejati. Namun, semua justru membuat hati Yudis semakin tersakiti. Betapa tidak, dia dipaksa bahagia dengan kehamilan istri yang bukan dari darah dagingnya. Yudis mesti bersandiwara di hadapan para tetangga seolah dirinya baik-baik saja. Padahal, remuk hatinya dan segala amarah tengah berkecamuk dalam dada. Ucapan selamat dari tetangga kepadanya hanya dijawab dengan senyum ala kadarnya. Senyum yang dia usahakan dengan segenap jiwa melengkung di bibirnya dengan kondisi hati yang lara. Betapa sulit bagi Yudis untuk berpura-pura bahagia malam itu. Hatinya yang gundah membuat acara tasyakuran terasa begitu lama baginya.

Selama acara syukuran, Yudis hanya menunduk menyembunyikan raut kekecewaannya. Air matanya berlinang. Ingin sekali dia berteriak untuk meluapkan emosinya. Berkali-kali matanya melirik jam di dinding yang seolah bergerak begitu lambat. Ingin rasanya dia pergi, tapi dia bimbang. Apa nanti kata orang? Bagaimana nanti dia menjawab pertanyaan sang ibu jika tidak ada di acara?

“Bukan! Itu bukan anakku!” teriak Yudis dalam hati.

Namun, semua amarah dan kecewa hanya mampu dia pendam dalam dada. Laksana terserang asma, sesak merambati dadanya. Air mata yang menetes pun kian deras. Sialnya, semua orang malah menyangka bahwa Yudis terharu. Bisik-bisik tetangga yang hinggap di telinganya, mengira air mata yang keluar itu adalah air mata bahagia.

"Masyaallah, calon ayah baru begitu bahagia sampai terharu," celetuk salah satu tetangga yang duduk tak jauh dari Yudis. Beberpa celetukan serupa pun dia dengar dari yang lainnya. Mereka mengira Yudis begitu bahagia hingga meluap menjadi air mata. Sementara, Yudis tak merespon mereka. Ucapan para tetangga itu justru malah makin membuat hatinya terluka.

Usai syukuran, rumah kembali sunyi. Ratri, Bu Farida, Umi Siti dan Ustad Suhada duduk-duduk di ruang tengah. Tampak sekali kebahagian memancar dari wajah mereka. Perbincangan ringan pun mengalir hingga tak terasa hari sudah mendekati tengah malam. Bu Farida menawarkan besannya itu untuk menginap. Awalnya, Umi Siti menolak karena khawatir merepotkan. Namun, Ratri membujuknya agar bisa bermalam di rumahnya. Akhirnya, malam itu Umi Siti dan Ustad Suhada, menginap di rumah anak menantu mereka.

Sementara, Yudis sejak usai acara tasyakuran, memilih untuk duduk sendirian di balkon. Seperti biasa dia duduk pada tempat khusus di area yang biasa dia gunakan untuk melukis. Kuas pun sudah siap menyapu cat warna-warni untuk ditorehkan pada kanvas putih di hadapannya. Sudah lebih dari satu jam, Yudis hanya mampu menatap kanvas putih di hadapannya. Tangannya kaku. Imajinasinya beku. Entah ke mana perginya jiwa seni dalam batinnya. Terjadi kekacauan dalam otaknya. Sehingga ketika angin berembus cukup kencang ia seperti tak merasakan apa-apa. Dadanya terlampau panas dengan apa yang sedang dialaminya.

“O Allah, apa ini karma karena aku telah menyakiti Dewanti?” desahnya ketika tiba-tiba seraut wajah perempuan bermata coklat berwajah indo bermain-main dalam ingatannya. “Maafkan aku, Dewanti.” desahnya lagi.

Lihat selengkapnya