Malam itu, lampu-lampu taman menyala terang, membingkai halaman rumah menjadi panggung syukuran yang rama atas kehamilan Ratri. Di bawah tenda putih sederhana, para tetangga berkumpul, saling bertegur sapa dengan senyum hangat. Dari kejauhan, suara lantunan Tahmid, Tasbih dan Takbir bergema memuji asma Allah terdengar syahdu, menghias suasana dengan nuansa khidmat. Namun, di tengah riuh doa-doa dan ucapan syukur, Yudis merasa seperti seorang aktor dalam drama yang tak pernah ia pilih. Semua yang terjadi di hadapannya saat ini justru membuat hati Yudis semakin tersakiti.
Betapa tidak, dia dipaksa bahagia dengan kehamilan istri yang bukan dari darah dagingnya. Yudis mesti bersandiwara di hadapan para tetangga seolah dirinya baik-baik saja. Padahal, remuk hatinya dan segala amarah tengah berkecamuk dalam dada. Ucapan selamat dari tetangga kepadanya hanya dijawab dengan senyum ala kadarnya. Senyum yang dia usahakan dengan segenap jiwa melengkung di bibirnya dengan kondisi hati yang lara. Betapa sulit bagi Yudis untuk berpura-pura bahagia malam itu. Hatinya yang gundah membuat acara tasyakuran terasa begitu lama baginya.
Selama acara syukuran, Yudis duduk di kursi sudut tenda, dia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang pucat dan raut kekecewaannya. Senyumnya kaku, seperti topeng yang dipasang dengan paksa. Hati kecilnya menjerit setiap kali seseorang mendekat, memberi selamat atas kebahagiaan yang tak pernah dia rasakan.
Air matanya berlinang. Ingin sekali dia berteriak untuk meluapkan emosinya. Berkali-kali matanya melirik jam di dinding yang seolah bergerak begitu lambat. Ingin rasanya dia pergi, tapi dia bimbang. Apa nanti kata orang? Bagaimana nanti dia menjawab pertanyaan sang ibu jika tidak ada di acara?
“Bukan! Itu bukan anakku!” teriak Yudis dalam hati.
Namun, semua amarah dan kecewa hanya mampu dia pendam dalam dada. Laksana terserang asma, sesak merambati dadanya. Air mata yang menetes pun kian deras. Sialnya, semua orang malah menyangka bahwa Yudis terharu. Bisik-bisik tetangga yang hinggap di telinganya, mengira air mata yang keluar itu adalah air mata bahagia.
"Masyaallah, calon ayah baru begitu bahagia sampai terharu," celetuk seorang ibu sambil tersenyum penuh arti yang duduk tak jauh dari Yudis.
Yudis hanya mengangguk, bibirnya melengkung tipis. "Iya, Bu. Alhamdulillah," jawabnya lirih. Tapi dalam hati, dia ingin sekali berteriak: "Ini bukan kebahagiaan! Ini luka yang terbungkus senyuman!"
Beberpa celetukan serupa pun dia dengar dari yang lainnya. Mereka mengira Yudis begitu bahagia hingga meluap menjadi air mata. Sementara, Yudis tak merespon mereka. Ucapan para tetangga itu justru malah makin membuat hatinya terluka.
Sesekali, matanya melirik jam dinding di ruang tamu yang terlihat dari balik jendela. Jarum-jarum jam itu terasa berjalan lambat, seperti sengaja memperpanjang derita hatinya. Ia memutar cangkir teh di tangannya, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan yang semakin menyesakkan dada.
“Aku harus kuat,” gumamnya pelan. “Mungkin ini ujian. Tapi, ya Rabb, apakah hamba sanggup menjalani semuanya tanpa hancur?”
Ratri, yang sedang berbincang dengan beberapa tamu di sisi lain halaman, terlihat begitu ceria. Wajahnya berseri-seri, seolah tak menyadari badai yang sedang melanda hati suaminya. Ketika sesekali matanya bertemu pandang dengan Yudis, dia melemparkan senyum manis yang bagi Yudis hanya menambah beban.
“Tasbih, tahmid, takbir… semuanya terdengar begitu agung, tapi dalam hatiku, hanya ada kegelisahan. Apa aku salah jika sulit menerima semua ini?” batin Yudis, kali ini air matanya tak tertahan. Dia buru-buru menyeka pipinya, takut tangis itu menjadi sorotan.
“Yudis, kenapa duduk di sini sendiri? Ayo, bergabung sama tamu-tamu lain,” suara lembut Bu Farida membuyarkan lamunannya. Ibunya berdiri di depannya, menatap dengan sorot penuh kasih.
Yudis menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Tidak apa-apa, Bu. Yudis hanya ingin sebentar di sini,” jawabnya sambil memaksakan senyum.
Yudis menatap ibunya dengan mata yang terasa berat. Ucapan itu seperti sebuah lentera di lorong gelap, namun lentera itu seolah terlalu jauh untuk digapai. Hatinya bergemuruh, ingin sekali ia berbicara, ingin membuka kebenaran yang selama ini ia pendam. Tapi, melihat sorot mata ibunya yang penuh kasih dan harapan, lidahnya seakan kelu.
“Terima kasih, Bu,” jawab Yudis akhirnya, suaranya nyaris tenggelam di sela desahan angin malam. Dia memaksakan senyum tipis yang lebih menyerupai kepedihan daripada ketulusan.
Bu Farida menepuk pundaknya lembut, lalu beranjak ke kerumunan tamu lain, menyapa mereka dengan senyum keibuan. Ia tampak begitu bahagia, sesekali memuji kehamilan Ratri dan menyebut calon cucunya sebagai “amanah besar dari Allah.”