Ketika itu, senja tak menampakan kecantikannya. Langit di luar kafe tampak seperti kanvas abu-abu. Gerimis turun membasahi aspal sejak setengah jam lalu. Yudis duduk di sudut sebuah kafe di kawasan Kemang Jakarta Pusat. Rintik air masih menyusuri jendela kaca, menciptakan pola acak yang seolah ikut melukiskan suasana hati Yudis. Mata Yudis menangkapi rintik hujan dari balik kaca jendela. Diam-diam ia menikmati sisa-sisa hujan. Mencoba mencari makna dari apa yang dilihatnya di semesta. Ia menarik napas dalam lalu melepaskanya perlahan seraya ada suara yang berbisik dalam hatinya : hujan seringkali menyembunyikan air mata, tapi tidak dengan rasa di hati.
Sebuah nama, Dewanti, tertulis dengan ujung jarinya pada kaca yang berembun. Namun, huruf-huruf itu perlahan memudar, dihapus oleh embun yang kian menebal.
Di luar, seorang wanita menyeberang jalan. Ia berlari kecil di bawah rintik hujan, map biru muda di tangannya menjadi satu-satunya pelindung kepala. Bajunya setengah basah. Namun, langkahnya tetap ringan. Ketika pintu kafe terbuka, suara lonceng kecil menggema, dan wangi kopi segera menyambut kehadirannya. Yudis segera berdiri menyambutnya di pintu kafe dengan tatapan penuh cinta. Senyumnya hangat, seperti ingin memeluknya dalam dekapan yang tak terlihat.
“Sudah lama? Maaf ya, aku telat. Tadi aku sibuk bersihin wajah dari semut,” ucap wanita bermata coklat itu manja sambil mendekap kedua tangannya, mencoba menghangatkan diri.
Yudis tertawa kecil, “Semut? Memangnya kenapa dengan wajahmu?” Yudis meneliti wajah sang kekasih.
“Ya, aku kan manis...” Dewanti mengedip-ngedipkan mata genit seperti boneka. Lucu sekali tingkahnya, seperti selalu berhasil membuat Yudis tersenyum. Ia menggandeng tangan Dewanti dan mengajaknya ke tempat duduk. Beberapa pengunjung kafe tersenyum tipis, mengamati sepasang kekasih itu yang terlihat begitu serasi. Yudis menarik kursi untuk Dewanti, yang langsung dibalas dengan senyuman lembut. Mereka duduk berhadapan, di antara aroma kopi dan suara obrolan yang samar.
Di luar, sisa hujan menorehkan genangan di aspal. Langit makin gelap. Seperti sudah membuat janji sebelumnya, lampu-lampu mulai menyala serentak, menggantikan sinar matahari yang bersembunyi di balik awan gelap. Namun, sebanyak apa lampu-lampu itu, tetap tidak akan pernah bisa menandingi terangnya matahari. Seperti tak pernah tergantikannya Dewanti dalam hati Yudis selama ini. Begitu juga dengan yang dirasakan Dewanti.
Yudis memandang Dewanti yang sedang merapikan rambutnya dengan jari. Namun kali ini, tatapannya tidak seperti biasa. Ada keraguan yang menggelayut di balik mata hitamnya, sesuatu yang bahkan tak mampu ia sembunyikan. Dewanti menyadarinya lalu membalas menatap Yudis dengan mata sedikit disipitkan. Ia berhenti menyisir rambutnya dan menatap Yudis dengan pandangan bertanya. Senyumnya yang indah mengawali sebelum akhirnya terlontar kata-kata.
“Kenapa, Yang?” tanyanya lembut, mencoba membaca pikirannya.
Yudis mengalihkan pandangan. “Eh, nggak apa-apa... Rambutmu basah,” jawabnya sekenanya.
Dewanti tersenyum kecil, “Ya iyalah, namanya juga kehujanan.”
Tatapan Yudis kembali jatuh ke cangkir kopinya. Ia tampak sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Melihat wajahnya yang muram, Dewanti bertanya lagi, kali ini lebih serius. “Kamu baik-baik saja, kan?”
Yudis mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terasa berat. “Aku baik-baik aja, De.”
Dewanti terkejut. “De? Sejak kapan kamu panggil aku ‘De’?” tanyanya, menatap lekat-lekat wajah Yudis.
Yudis salah tingkah. Biasanya ia memanggil Dewanti dengan sayang. Ia tertangkap basah oleh kekasihnya sendiri. “Eh... nggak sengaja,” katanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Namun, Dewanti tak menyerah. Ia mendekatkan wajahnya, memegang dagu Yudis, dan memaksanya untuk kembali bertatapan. Ditatap seperti itu, Yudis semakin salah tingkah. Kali ini, mata Dewanti seperti pisau yang membedah hati Yudis, mencoba mencari jawaban di balik keheningan yang meliputi mereka.