“Apa! Kamu dijodohkan?” Dewanti tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
Yudis mengangguk pelan. Wajahnya sangat muram, “Kemarin, saat aku pulang, datang Ustad Suhada dan Umi Siti ke rumah. Mereka adalah sahabat almarhum Ayah. Bahkan mereka juga yang selama ini membantu ibu untuk mengurusi bisnis peninggalan Ayah. Mereka mempunyai seorang putri. Aku memang telah mengenalnya sejak kecil. Kami sudah seperti adik kakak. Tapi, aku tak menyangka jika ternyata dia telah mencintaiku sejak dulu. Dan ibu sangat yakin kalau dia adalah gadis yang baik untukku.”
“Dan kau mau?”
“Dengar, Sayang! Aku mencintaimu dan tak akan pernah bisa mencintai wanita lain, kau percaya kan?" Yudis berusaha meyakinkan wanita yang ada di hadapannya, "Tapi apa yang harus aku lakukan untuk membahagiakan ibu, selain menikah? Melihatku menikah dan mempunyai anak adalah satu-satunya keinginan ibuku saat ini.”
Bibir Dewanti bergetar. Dia tak sanggup mendengar alasan yang keluar dari mulut kekasihnya. Dadanya bergemuruh. Dari sudut matanya mulai muncul air bening dan tak berapa lama menjelma genangan di kelopak matanya yang siap jatuh ke pipi.
“Kau bohong Yudis! Kau tidak mencintaiku. Cinta tak akan pernah terkalahkan oleh apa pun. Bahkan kematian. Aku tak menyangka kau hanyalah seorang anak Mamah yang tak bisa menentukan jalan hidupmu sendiri.” Dewanti meluapkan kekecewaannya. Air matanya pun luruh tak tak mampu terbendung.
“Apa, kau bilang? Aku lemah! Tak bisa menentukan sikap! Anak mamah! Terserah apa katamu. Yang perlu kau tahu hanyalah aku berusaha untuk mengajakmu menikah sebelum aku dipaksa menikah. Tolonglah Sayang, hanya kau yang bisa menyelamatkan cinta kita ini. Andai ibuku tidak sedang sakit, pasti aku akan berusaha semampuku untuk bisa menunggumu hingga selesai kuliah.” Yudis memohon. Dewanti terdiam. Hanya isak saja yang selalu mengiringi setiap helaan napasnya.
Hening menjeda. Pikiran mereka masing-masing sibuk berbincang. Tentang cinta dan kesetiaan. Juga tentang cinta dan perpisahan. Namun, begitulah cinta adanya. datang tak pernah diundang. Ketika harus pergi, maka cinta pun seolah malaikat maut yang membawa pergi serta menyisakan air mata.
Dewanti menyeka air mata dengan jemarinya. Kemudian menghela napas dalam. “Baiklah. Aku akan berusaha memberi pengertian kepada orang tuaku agar kita diizinkan untuk segera menikah. Aku benar-benar mencintaimu. Tak ingin kehilanganmu. Aku mohon jangan tinggalkan aku.” Air mata yang tadi telah diseka pun mengalir kembali.
Yudis tersenyenyum tulus mendengarnya. Diraihnya tangan Dewanti lalu menggamnya erat. Semakin erat. “Aku juga sangat mencintaimu, Sayang. Maafkanlah aku yang terlalu memaksakan kehendak. Ini semua kulakukan agar kita tetap bersama.”