Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #7

Tak Kunjung Datang - NEW

Yudis menatap meja di depannya, kosong, meski di sana ada segelas kopi yang kini mulai dingin. Suaranya bergetar, seolah setiap kata yang keluar menambah beban di pundaknya.

“Kemarin, saat aku pulang, Ustad Suhada dan Umi Siti datang ke rumah. Mereka sahabat almarhum Ayah. Sudah lama mereka membantu Ibu mengelola bisnis peninggalan Ayah. Mereka punya seorang putri, aku mengenalnya sejak kecil, seperti adik sendiri. Tapi aku tak pernah tahu kalau dia menyimpan perasaan untukku sejak dulu.” Yudis berhenti, mencoba menelan kenyataan pahit yang terasa seperti duri di tenggorokannya. “Dan Ibu... Ibu yakin dia adalah gadis terbaik untukku.”

Dewanti memandang Yudis dengan mata yang penuh luka, seperti malam yang kehilangan cahaya bulan.

“Dan kau mau?” tanyanya, suaranya lirih, nyaris seperti bisikan angin yang kehilangan arah.

Yudis menggeleng pelan. “Sayang, aku mencintaimu. Aku tidak pernah, dan tidak akan pernah, bisa mencintai wanita lain. Kau percaya, kan?” Ia menatap Dewanti, berusaha meyakinkan wanita yang ada di hadapannya dan berharap ada kehangatan yang memeluk kata-katanya. “Tapi Ibu... Satu-satunya keinginannya sebelum... sebelum penyakitnya semakin parah, adalah melihatku menikah dan memberinya cucu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membahagiakannya.”

Kata-kata itu menghantam Dewanti seperti badai. Dadanya bergemuruh, penuh rasa yang bercampur aduk. Bibirnya bergetar. Dia tak sanggup mendengar alasan yang keluar dari mulut kekasihnya. Dari sudut matanya, air bening mulai tumpah, menjelma genangan di kelopak matanya yang siap jatuh ke pipi.

“Kau bohong Yudis! Kau tidak mencintaiku,” katanya serak. “Cinta tak akan pernah terkalahkan oleh apa pun. Bahkan kematian sekalipun. Jika kau benar mencintaiku, kau akan memperjuangkan kita, bukan tunduk pada keadaan. Kau hanya seorang anak Mamah yang tak bisa menentukan jalan hidupmu sendiri.” Dewanti meluapkan kekecewaannya. Air matanya pun luruh tak tak mampu terbendung mengiringi kalimat yang ia ucapkan dengan hati penuh kecewa.

.“Apa, kau bilang?” Suara Yudis meninggi, tetapi lebih terdengar seperti keluh kesah yang memuncak. “Aku lemah? Anak Mamah? Terserah apa katamu. Yang perlu kau tahu, aku sedang berusaha agar kita tetap bersama. Aku berusaha untuk mengajakmu menikah sebelum aku dipaksa menikah. Aku memohon, Sayang. Tolonglah, hanya kau yang bisa menyelamatkan cinta kita ini. Kalau saja Ibu tidak sedang sakit, aku pasti akan menunggumu menyelesaikan kuliah tanpa memaksamu seperti ini.”

. Yudis memohon. Dewanti terdiam. Hanya isak saja yang selalu mengiringi setiap helaan napasnya. Hening menyergap di antara mereka. Hanya isak tangisnya yang memecah kesunyian. Dalam keheningan itu, masing-masing pikiran mereka sibuk berdialog, tentang cinta, takdir, kesetiaan. Juga tentang cinta dan perpisahan. Namun, begitulah cinta adanya. datang tak pernah diundang. Ketika harus pergi, maka cinta pun seolah malaikat maut yang membawa pergi serta menyisakan air mata.

Hingga akhirnya, Dewanti menghapus air matanya dengan ujung jari, meski percuma, karena air itu kembali mengalir.

“Baiklah,” katanya dengan suara berat. “Aku akan berbicara dengan orang tuaku. Aku akan mencoba meyakinkan mereka, agar kita bisa segera menikah. Aku mencintaimu, Yudis. Aku tak ingin kehilanganmu. Aku mohon, jangan tinggalkan aku.”

Yudis tersenyum tipis, tapi ada ketulusan di balik senyum itu. Ia meraih tangan Dewanti, menggenggamnya erat. “Aku juga sangat mencintaimu, Sayang. Maafkan aku. Semua ini kulakukan hanya agar kita tetap bersama.”

Tanpa sadar, mereka saling berpelukan, seperti dua jiwa yang berusaha mencari kehangatan di tengah badai yang dingin. Sejenak, dunia di sekitar mereka menghilang. Mereka lupa bahwa sedang berada di kafe, menjadi tontonan mata-mata asing yang mungkin saja menilai mereka dengan berbagai prasangka.

Malam pun semakin larut, dan kopi serta makanan yang mereka pesan tetap utuh di meja. Akhirnya, setelah segalanya terasa terlalu berat untuk ditahan, mereka memutuskan pulang. Namun di dalam hati masing-masing, ada harapan kecil yang masih menyala, seperti lilin yang melawan tiupan angin takdir..

***

 

Hari-hari terasa panjang bagi Yudis. Sudah lima hari berlalu tanpa satu pun kabar dari Dewanti. Bayangan wajahnya, suara lembutnya, dan janji yang pernah mereka buat terus bermain di benak Yudis, seperti lukisan hidup yang tak pernah selesai. Ia membersihkan galeri kecilnya dengan kemoceng, meski debu nyaris tak terlihat. Namun, pikirannya tak sepenuhnya ada di sana. Ada beban berat di hatinya—ibu yang terus mendesaknya pulang ke Bandung, dan Dewanti yang menghilang tanpa kabar. Kedua wanita itu adalah cahaya dalam hidupnya, tapi kini mereka seperti dua kutub yang tak mungkin ia satukan.

"Kenapa kau tak memberi kabar, Dewanti?" gumamnya pelan sambil terus membersihkan lukisan-lukisannya yang terpajang pada dinding galerinya dengan kemoceng. Suaranya hilang ditelan sepi yang menggema di antara dinding galeri.

Galeri itu sederhana, tapi penuh dengan sentuhan seni yang memancarkan jiwa Yudis. Lukisan-lukisan dengan berbagai tema menghiasi dinding, dari lanskap senja yang magis hingga potret manusia dengan ekspresi yang dalam. Beberapa pengunjung datang dan pergi, hanya melihat-lihat tanpa membeli apa pun. Namun, Yudis selalu bersikap ramah kepada setiap tamu yang datang ke galerinya. Baginya, seni adalah nafas, dan galeri ini adalah ruang di mana ia bisa hidup dalam setiap goresan warna.

Selain menjual lukisan hasil karyanya sendiri, Yudis pun menjual beraneka ragam karya seni lainnya yang dia beli dari seniman lain. Yudis memang seorang pecinta seni sekaligus seorang pelukis yang kini namanya cukup harum di kalangan para pecinta seni lukis. Bahkan, ada beberapa lukisannya yang telah terjual hingga ke luar negeri. Tak jarang, Yudis diundang oleh sebuah forum sebagai narasumber untuk memberikan motivasi dan menerangkan arti sebuah seni yang kini telah kabur oleh materi.

Sebenarnya, Bu Farida tak menyetujui anak lelaki satu-satunya itu menjadi seorang seniman, karena menurutnya masa depan seorang seniman itu tidak terjamin. Beda dengan pegawai negeri atau pengusaha. Ibunya meminta Yudis untuk meneruskan usaha milik almarhum ayahnya di bidang otomotif. Namun, Jiwa seni telah kuat mengalir dalam darah Yudis. Sehebat apapun dia berusaha menjauhi seni, maka jiwanya pun semakin terpanggil. Hingga di sisa waktu luang, di antara kesibukannya sebagai salah satu karyawan pada salah satu perusahaan pembuatan mobil di Jakarta, Yudis selalu melukis. Yudis selalu membeli barang-barang bernilai seni. Awalnya semua itu adalah hobi belaka. Namun, ketika Dewanti menyarankannya untuk membuka sebuah galeri, maka Yudis pun total menggeluti bidang seni. Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Ibunya pun akhirnya dapat menerima keputusan anaknya itu.

Yudis mengembuskan napas berat. Duduk di kursi kebesarannya di galeri itu. Dia memang tak memakai seorang pun pegawai. Dia lebih suka mengerjakan semua hal di galerinya sendirian. Sementara, bayangannya terus terpaku pada Dewanti dan ibunya. Dua wanita yang sama-sama dia cintai dan sayangi sepenuh hati. Namun, dia tak bisa memiliki keduanya. Dia harus rela melepaskan salah satunya. “Jika sampai sore ini tak ada kabar juga, aku akan ke rumahnya.” Kepalanya menengadah bersandar pada senderan kursi menatap langi-langit galeri dengan lukisan langit. Sehingga sekilas galeri itu seperti tanpa atap.

Bersamaan dengan itu, pintu galeri terbuka. Seorang pria masuk dengan langkah tergesa-gesa. Dari wajahnya menyiratkan kecemasan yang membuat Yudis segera meletakkan kemocengnya. Dia adalah Arya teman satu kampus Dewanti. Wajah Yudis sedikit senang. Meski raut wajah Arya seolah membawa berita tidak menyenangkan, tapi dia yakin, kedatangan Arya ke galerinya pasti membawa kabar tentang Dewanti.

Lihat selengkapnya