Senja di langit Bandung mulai memamerkan rona jingganya, tetapi kecantikan itu tidak mampu menenangkan hati Yudis. Matahari bercermin di kaca spion ketika mobilnya perlahan merayap memasuki kawasan Pasteur yang macet seperti aliran air tersumbat. Hawa kota yang dingin tidak sebanding dengan amarah kecil yang mulai menggelegak di dadanya. Apalagi di akhir pekan seperti saat ini, banyak para pelancong dari luar kota yang masuk ke Bandung dan lagi-lagi menyebabkan kemacetan.
Bandung yang biasanya menyenangkan berubah menjadi labirin tak berujung, penuh kendaraan yang saling berebut ruang. Yudis semakin kesal, tapi tetap tak bisa berbuat apa-apa. Kecemasan jelas tergambar di wajahnya. Dia terus teringat kepada sang ibu yang kini tengah terbaring menunggunya. Dia sangat merasa bersalah. Penyakit ibunya kambuh lagi mungkin karena ulah dirinya. Yudis masih belum memberi jawaban kepada sang ibu. Semua masih mengambang tanpa kepastian. Yudis masih belum memutuskan tentang keinginan sang ibu untuk menikahkan dirinya dengan putri sahabatnya.
"Astagfirullah," desah Yudis pelan, tangannya mencengkeram kemudi lebih erat. Sementara senja kian redup. O bukan! Langit tiba-tiba mendung karena lima menit kemudian gerimis pun turun, menambah rasa waswasnya. Dia memikirkan sang ibu yang terbaring di rumah sakit, menunggunya dengan napas yang mungkin semakin lemah. Ada rasa bersalah yang tak bisa dia enyahkan. Penyakit ibunya kambuh lagi, dan kali ini dia yakin penyebabnya adalah dirinya sendiri.
Semuanya berawal dari percakapan beberapa minggu lalu, ketika sang ibu meminta kepastian tentang keinginannya menikahkan Yudis dengan Ratri. Namun, hingga detik ini, Yudis belum memberi jawaban apa pun. Dia masih terlalu bingung menghadapi hidup yang terus mendesaknya dari segala arah.
"Seandainya cinta itu sederhana, mungkin keputusan ini pun tak serumit ini," pikir Yudis.
Ketika mobilnya mendekati flyover Pasupati, jalanan mulai sedikit longgar. Dia menginjak pedal gas lebih dalam, berharap waktu bisa dipercepat seperti adegan dalam film. Dari fly over Pasupati, Yudis turun dan berbelok kiri ke jalan Pasir Kaliki. Dia ingin segera tiba di ruman sakit tempat ibunya dirawat. Rasa sayang dan cemas yang teramat dalam kepada sang ibunda membuat hatinya semakin gelisah.
Sesampainya di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Yudis bergegas menuju pintu masuk utama. Gerimis yang tadinya halus mulai berubah menjadi hujan deras. Hembusan angin membawa bau antiseptik yang pekat saat ia melangkah di sepanjang lorong rumah sakit. Ia berjalan sebentar menyusuri selasar menuju Ruang Rawat Inap Khusus (RIK) Paviliun Parahiyangan Utama kelas A tempat ibunya dirawat. Tantenya memasukan ibunya ke ruang khusus agar mendapat perawatan maksimal. Dan memang begitulah umumnya rumah sakit di Indonesia, yang paling berduit, maka dialah yang mendapat perawatan dan pelayanan paling baik. Tapi tetap saja Yudis cemas. Dia sadar sepenuhnya bahwa sebaik apa pun pelayanan yang diberikan pihak RS kepada ibunya, tetap saja yang namanya sakit itu tidak enak. Bahkan pernah ia dengar dari seseorang kalau sakit adalah bunganya kematian.
Di depan pintu Ruang Rawat Inap Khusus, dia berhenti sejenak. Tantenya menyambutnya dengan wajah penuh kecemasan, mengulurkan tangan seolah memberi kekuatan.
"Bagaimana, Tan? Apa ibu sudah sadar?" tanyanya tanpa basa-basi.
Tantenya menggeleng pelan. "Dokter bilang kondisinya stabil, tapi masih harus dipantau."
Deg! Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika ia teringat akan kematian. “Sembuhkan ibu, Duhai Allah ...,” jeritnya dalam hati.
Langit di luar mungkin sudah gelap, tetapi di dalam hati Yudis, harapan tetap menyala. Dia berdoa, dengan lirih namun penuh keyakinan, memohon agar Tuhan memberi kesempatan untuk membalas segala cinta dan pengorbanan ibunya.
"Sakit itu memang bunga kematian, tapi doa adalah pupuk kehidupan."
***
Yudis menarik napas panjang sebelum memutar gagang pintu dengan hati-hati. Ruangan itu langsung menyambutnya dengan suasana sunyi yang hampir membuat detak jantungnya terdengar jelas. Begitu pintu terbuka, matanya menangkap pemandangan yang serasa menusuk relung hatinya. Tante Diana berjalan di belakang Yudis segera menghampiri suaminya, Om Syam, yang duduk di sofa dekat jendela. Di tengah ruangan, Bu Farida berbaring di atas tempat tidur bersprei putih, napasnya terlihat pelan dan berat.
Ruangan itu begitu rapi, menyerupai kamar di sebuah hotel. Sebuah TV LCD tergantung di dinding sebelah kiri, tak jauh dari kaki ibunya yang terbaring lemah. Di sudut kanan, lemari es kecil berdiri, ditemani meja kecil yang penuh dengan makanan ringan dan botol air mineral. Namun, semua kenyamanan itu terasa kontras dengan kondisi Bu Farida yang terbaring tak berdaya, wajahnya tampak lebih pucat dibanding terakhir kali Yudis melihatnya.