Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #9

Takdir, Rindu, dan Sebuah Janji - NEW

Yudis mencoba menghubungi nomor Dewanti. Tidak tersambung. Ia mencoba lagi dan lagi. Namun, tetap tak ada hasil. Sialnya, Yudis tak punya akses lain untuk menanyakan kabar Dewanti selain kepada Dewanti sendiri.

Ia menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangan ke wajah ibunya yang tengah tertidur. Ada ketenangan di sana, meski tubuhnya tampak begitu ringkih. Yudis menghampiri, membetulkan selimut yang turun hingga tak lagi menutupi dada sang ibu. Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu. Yudis menoleh, mendapati Rio, keponakannya, menyembul dari baliknya dengan senyum nyengir. Sambil melangkah masuk, suaranya lirih agar tak membangunkan Bu Farida.

"Kang Yudis sudah makan?" tanya Rio pelan.

"Belum," jawab Yudis singkat. Ia mengamati wajah Rio, bocah kelas tiga SMA itu, lalu matanya menangkap memar di pelipisnya. "Berantem lagi?"

Rio tertawa kecil. "Bukan berantem, Kang. Dipukul Bapak."

"Makanya jangan nakal!" sahut Yudis.

"Nakal dikit nggak apa-apa, Kang. Yang penting bertanggung jawab," katanya ringan.

Yudis melipat tangan di dada. "Emang lu udah ngelakuin apa?"

"Rara hamil, Kang,” lagi-lagi jawaban Rio sangat tenang. 

Sekujur tubuh Yudis menegang. "Apa?! Lu hamilin anak orang dan masih bisa santai begini?"

Rio mengangkat bahu, masih dengan ekspresi tanpa beban. "Zaman sekarang biasa aja, Kang. Tinggal nikah, beres. Asal jangan bini orang yang dihamilin."

Yudis mengusap wajahnya dengan kasar. "Dengar, ya, bocah! Zina itu, meskipun sama-sama mau, tetap dosa! Dan dosanya nggak cuma lu yang nanggung, tapi juga orangtua lu! Lu pikir ini perkara sepele?"

Yudis sangat kesal dengan sikap ponakannya yang selalu menganggap enteng semua masalah dan dosa. “Terus lu mau kawin, gitu!” 

Rio terdiam sejenak sebelum berkata, "Nikah, Kang. Kawinnya mah udah." Ia tertawa kecil, tapi Yudis tidak merespons.

"Gimana sekolah lu?" tanya Yudis akhirnya, berusaha mengendalikan amarah.

"Ya tetap sekolah, cuma mungkin pindah."

Yudis mendekat, menepuk pundak Rio dengan sedikit tenaga. "Dengerin gua baik-baik. Ini pertama dan terakhir kali gua ngomong sebagai Om lu. Kalau lu bikin masalah lagi, gua sendiri yang turun tangan."

Rio mendesah. "Iya, Kang. Rio juga udah janji ke Papa dan Mama, ini yang terakhir. Hanya saja, Rio memang begini orangnya. Kayak santai, padahal dalam hati hancur."

Yudis menatap Rio lekat-lekat, berusaha menangkap ketulusan dalam kata-katanya. Tapi Rio buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Udahlah, Kang. Nggak usah dipikirin. Mending Kang Yudis makan dulu, terus istirahat. Biar Rio yang nungguin Uwak."

Lihat selengkapnya