Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #10

Lamaran - NEW

Matahari condong ke barat ketika Bu Farida tiba di rumah. Perjalanan dari rumah sakit terasa lebih panjang karena macet, tetapi Yudis tetap setia di sisinya. Kali ini, ia meminta Rio untuk menyetir. Hanya butuh waktu 30 menit ditambah macet untuk sampai di rumahnya di jalan Cihanjuang.  Begitu mobil berhenti di depan teras, Mang Dadang dan Bi Nengsih sigap menyambut. Rio memarkir kendaraan, lalu berpamitan pulang. Yudis menggandeng ibunya, membawanya ke kursi rotan di teras rumah.  

Bu Farida menarik napas dalam, membiarkan matanya menyapu taman kecil yang tak pernah kehilangan pesonanya. Bunga-bunga bermekaran, air mancur terus mengalir. Hatinya terasa lebih ringan. Akhirnya, Yudis bersedia menerima perjodohan dengan Ratri, putri sahabatnya. Ia bisa melihat masa depan yang bahagia.  

"Ratri anak baik," batinnya. Seorang muslimah yang taat, putri seorang ustaz, dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Bukankah itu yang terbaik untuk Yudis?  

"Istirahat di dalam saja, Bu," suara Yudis memecah lamunannya.  

Bu Farida tersenyum sambil menikmati suasana rumah yang hangat dalam keheningan sore. . "Di sini saja dulu. Di dalam sumpek."  

"Baiklah. Ibu mau minum apa?"  

"Air putih saja."  

Tak butuh waktu lama, Yudis kembali dengan segelas air. Bu Farida menerimanya dengan senyum bangga.  

"Duduklah, Nak. Ibu ingin bicara."  

Yudis menurut, sementara Mang Dadang dan Bi Nengsih kembali pada kesibukan masing-masing. Rio mohon izin untuk pulang dulu. Rumahnya tidak terlalu jauh. Masih dalam satu lingkungan komplek. 

 "Nanti malam, Umi Siti dan Ustaz Suhada akan datang, membawa Ratri," ujar Bu Farida. "Kamu tahu untuk apa, bukan?"  

Yudis mengangguk pelan. "Ibu bahagia, Yudis juga bahagia. Apapun keputusan Ibu, Yudis ikut saja."

Bu Farida menatap putranya dengan rasa syukur. "Kalau pernikahan dipercepat, bagaimana?"  

Yudis terdiam sejenak. "Yudis setuju saja, Bu. Tapi kita butuh persiapan. Yudis juga ingin menjual galeri dulu, rencananya pindah ke Bandung."  

"Tidak perlu berlebihan. Ibu sudah bicara dengan Umi Siti dan Ustaz Suhada, pernikahan akan dilaksanakan sesuai syariat. Hanya akad, tanpa resepsi, di pesantren mereka."  

Yudis termenung.  

"Kamu ingin pesta yang meriah?" tanya Bu Farida, menebak pikirannya.  

"Bukan itu, Bu. Hanya saja..." Yudis menggantungkan kalimatnya. Ia menunduk, jemarinya saling meremas. "Apa Yudis pantas? Ratri itu perempuan baik. Sementara Yudis…"  

Bu Farida tersenyum, menepuk punggung tangan putranya. "Ratri mencintaimu sejak SMA, Nak. Dia sendiri yang mengatakannya pada Ibu."  

Lihat selengkapnya