Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #12

Menikmati Malam Halal - NEW

Purnama menggantung tenang di langit malam, melukis cahaya lembut di antara siluet pepohonan. Di teras rumah, keluarga masih berkumpul, melemparkan canda yang menggoda Yudis dan Ratri—sepasang pengantin baru yang kini diizinkan duduk berdampingan. Wajah Ratri merona, malu namun bahagia. Sedangkan Yudis hanya bisa tersenyum, menerima godaan keluarganya dengan pasrah.

Malam semakin larut. Satu per satu keluarga berpamitan, kembali ke rumah masing-masing. Yudis sebenarnya ingin membawa Ratri pulang bersamanya, namun ibunya, Bu Farida, memilih untuk tetap tinggal di rumah besannya. Ustad Suhada, ayah Ratri, telah menyiapkan kamar khusus untuknya. Maka, Yudis dan Ratri pun masuk ke dalam rumah, menuju kamar mereka di lantai dua.

Angin berembus lembut, membawa aroma tanah basah dan wangi melati yang merekah di pojok balkon. Pohon jati di halaman menari perlahan dalam gelap, sementara Gunung Burangrang menjulang di kejauhan, hitam dan gagah seperti penjaga kota. Sepasang kunang-kunang berputar rendah, lalu hinggap di antara bunga-bunga melati yang setia menemani malam.

“Hmmm…” lirih mereka bersamaan.

Mata mereka bertemu, saling membaca dan menyelami.

“Silakan duluan, mau ngomong apa?” tanya Yudis, suaranya lembut.

Ratri menunduk, ujung kerudungnya dimainkan di antara jemari. “Aku mesti panggil Aa, Kang, atau…?”

Yudis tersenyum. “Yang nyaman buat Neng apa?”

Ratri berpikir sejenak, lalu mengangkat wajah dengan senyum malu-malu. “Aa…”

“Hmmm… boleh, boleh. Terus, Aa panggil apa?”

“Neng aja!” sahutnya cepat.

“Baiklah, Neng aja.”

“Ish, nggak pakai ‘aja’ atuh. ‘Neng’ titik.” Ratri mencebik manja.

Yudis terkekeh. “Oke, Neng titik.”

Ratri memutar mata. “Aa nakal ih!”

Yudis tergelak. Tawanya ringan, seakan mengikis beban yang sempat memenuhi hatinya. Sesaat, bayangan Dewanti menghilang—tersapu oleh kehangatan yang terpancar dari Ratri.

“Ada yang lucu?” tanya Ratri dengan mata yang menyipit manja.

Yudis tak menjawab, hanya tersenyum lalu menggenggam jemari Ratri. Gadis itu sontak terdiam, merasakan debar jantungnya yang semakin kencang. Tubuhnya bergetar halus, seperti diterpa hembusan angin musim dingin.

Perlahan, Yudis memutar tubuh Ratri hingga mereka saling berhadapan. Jarak di antara mereka begitu dekat, bahkan embusan napas pun terasa di kulit. Dada Ratri naik-turun, matanya menatap Yudis dengan binar yang sulit diartikan. Sesuatu yang tak terucap bergejolak dalam dada mereka—sebuah rasa yang memenuhi ruang di antara mereka, membuat purnama pun seolah bersembunyi di balik awan.

“Aa…” lirih Ratri, matanya penuh tanya.

Yudis mengusap punggung tangan Ratri dengan lembut. “Ya, Sayang?”

Lihat selengkapnya