Purnama mengambang di langit malam. Mereka masih berkumpul di teras rumah. Menggoda Yudis dan Ratri yang saat itu sudah diizinkan untuk duduk berdampingan. Wajah Ratri merona. Menahan malu sekaligus bahagia. Sedang Yudis hanya senyum-senyum dicandai oleh keluarganya.
Tibalah saat-saat paling indah bagi Ratri dan Yudis. Mereka disuruh istirahat oleh keluarganya. Yudis dan Ratri segera masuk dan langsung naik ke lantai dua rumah mereka. Sebenarnya Yudis sangat ingin membawa Ratri pulang ke rumahnya bersama keluarganya yang malam itu langsung pulang, kecuali Bu Farida. Dia masih ingin tinggal di rumah besannya. Maka Ustad Suhada menyediakan kamar khusus untuk Bu Farida.
Angin berembus pelan. Daun-daun pohon jati menari erotis. Tapi, semua itu semakin menambah suasana makin romantis. Yudis dan Ratri berdiri di balkon rumah menikmati keheningan yang bening. Nun di sana, bayangan hitam Gunung Burangrang ibarat raksasa penjaga gerbang kota Kembang. Sepasang kunang-kunang terbang merendah, lalu hinggap pada bunga melati yang setia menunggui pojok teras balkon.
“Hmmm ….” Lirih mereka bersamaan.
Mereka saling menatap dan tersenyum.
“Silahkan duluan. Mau ngomong apa?” lirih Yudis.
Ratri menunduk. Memainkan ujung kerudung. “Neng mesti panggil apa sekarang? Aa, Kang atau ….”
“Yang enak apa?”
“Aa …,” Sahut Ratri.
“Hmmm … boleh-boleh. Terus Aa panggil apa?”
“Neng aja!” sahut Ratri.
“Baiklah Neng aja!”
“Ishh ... nggak usah pake ‘aja’ atuh. ‘Neng titik’ gitu.” ucap Ratri manja. Matanya yang bening berbinar. Lebih indah dari kerlip bintang di langit sana.
“O iya. Neng titik!” Yudis senang mencandainya.
“Aa nakal ish!” Ratri cemberut manja. Memalingkan wajah ke arah lain.
“Hahaha ….” Yudis tertawa geli melihat tingkah istrinya. Ratri mampu membuat Yudis lupa kepada Dewanti.
“Ada yang lucu?” tanya Ratri masih cemberut manja. Menatap Yudis dengan mata agak disipitkan. Namun malah terlihat lebih menggemaskan.
Yudis tersenyum. Segera digenggamnya jemari tangan Ratri. Dan Ratri langsung terdiam karena tiba-tiba saja jantungnya berdegup semakin cepat. Tubuhnya langsung bergetar. Seperti orang terserang demam tinggi.
Perlahan Yudis memutar tubuh Ratri hingga mereka kini saling berhadapan. Sangat dekat. Saking dekatnya, mereka bisa merasakan embusan napas masing-masing. Bulu kuduk langsung merinding. Tapi bukan karena takut, bukan! melainkan ada sebuah rasa yang saat itu menyesak dalam jiwa. Entah apa. Yang jelas rasa itu mampu membuat jiwa mereka melayang. Membuat purnama pun malu hingga harus bersembunyi dibalik awan hitam.
“Aa ...,” lirih Ratri.