Dewanti masih terbaring di ranjang rumah sakit. Cahaya redup dari jendela mengisi ruangan dengan semburat keemasan, namun tidak mampu menghangatkan hatinya yang semakin hampa. Sudah berapa lama ia menunggu? Berhari-hari berlalu, tetapi Yudis tak juga menghubunginya.
Biasanya, setiap pagi, Yudis selalu mengiriminya pesan—sekadar ucapan selamat pagi, pengingat sarapan, atau kata-kata sederhana yang membuatnya tersenyum. Biasanya, sebelum kuliah dimulai, Yudis sudah datang menemuinya, menyapanya dengan senyum khasnya yang selalu berhasil membuat harinya lebih berwarna.
Tapi pagi ini berbeda. Semuanya menghilang, seakan tak pernah ada. Hampa.
Dewanti menghela napas pelan. Meskipun lukanya mulai membaik, rasa sakit di hatinya jauh lebih perih dibanding luka di kepala dan kakinya. Ia kini sudah bisa duduk, memandang pintu kamar dengan penuh harapan—berharap Yudis akan datang, berdiri di sana, membawa secercah kehangatan yang ia rindukan. Namun, yang ia dapatkan hanyalah kesunyian yang semakin menyiksa.
Di sampingnya, Bu Nining duduk dengan raut wajah yang tak mampu menyembunyikan kepiluan. Ia mengelus kepala putrinya dengan penuh kasih.
"Ya Allah, kuatkan putriku dalam menerima semua ketetapan-Mu," bisiknya dalam doa.
Dewanti membuka matanya perlahan, bertemu dengan tatapan teduh ibunya. Mata itu menyimpan doa, kepasrahan, sekaligus kesedihan yang mendalam. Tak ada kata yang terucap, namun cukup bagi mereka saling memahami. Air mata mengalir dari sudut mata Dewanti, dan tanpa disadari, Bu Nining pun ikut meneteskan air mata.
“Sayang, sarapan dulu, ya?” suara ibunya terdengar lirih, penuh kelembutan.
Dewanti hanya mengangguk pelan.
Bu Nining membantu putrinya duduk lebih tegak ketika pintu kamar terbuka. Arya masuk dengan langkah tenang, membawa dua kantong plastik di tangannya. Aroma bubur kacang hijau yang hangat menguar ke seluruh ruangan. Dewanti menoleh ke arahnya, menatapnya dengan harapan tipis—seakan berharap Arya membawa kabar tentang Yudis.
"Mau sarapan bubur ayam atau bubur kacang hijau, De?" tanya Bu Nining dengan lembut.
Arya tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Bubur kacang hijau dong… iya, kan?” katanya ceria.
Dewanti memaksakan sebuah senyum. "Makasih, Ar," ucapnya lirih.
Bu Nining segera menuangkan bubur ke dalam mangkuk dan bersiap menyuapi putrinya. Namun, sebelum suapan pertama sampai ke mulut Dewanti, ponselnya berdering. Panggilan dari Pak Jovan.
“Biar aku yang menyuapi Dewanti, Bu,” pinta Arya.
Bu Nining ragu sejenak, tetapi akhirnya menyerahkan mangkuk itu kepadanya sebelum beranjak keluar untuk menjawab telepon.
Arya duduk di samping ranjang, mengambil sesendok bubur, lalu meniupnya perlahan sebelum mendekatkannya ke bibir Dewanti. “Ayo, makan dulu, biar cepat sembuh.”
Dewanti hanya diam, menatap bubur itu tanpa minat. Hingga akhirnya, ia bertanya dengan suara lemah, “Udah ada kabar dari Yudis?”
Arya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan.
Harapan di mata Dewanti meredup begitu saja. Ia menunduk, menggigit bibirnya, lalu menggelengkan kepala ketika Arya kembali menyodorkan suapan berikutnya.
“Ayo dong, De…,” bujuk Arya lembut. “Kamu harus makan, biar cepat pulih.”