Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #16

Berita Bahagia yang Membuat Luka

Sementara itu, Dewanti masih terbaring di rumah sakit. Selama itu juga ia menanti kabar dari Yudis. Biasanya setiap pagi Yudis selalu mengiriminya kata-kata cinta melalui pesan singkat. Biasanya setiap pagi Yudis selalu mengingatkannya untuk sarapan. Biasanya setiap pagi Yudis selalu menemuinya sebelum ia masuk kampus. Namun pagi ini semua hilang, semua tak ada, Dewanti semakin putus asa. Semua yang ada, semua perhatian dari orang-orang di sekitarnya, tak mampu mencukupi kerinduannya kepada Yudis.

Dewanti masih saja terpejam tak berdaya dengan perban di kepala dan kakinya meski tak separah ketika awal ia masuk rumah sakit. Kini Dewanti telah bisa bangkit untuk sekadar duduk memandang pintu ruangan berharap Yudis muncul dengan senyuman termanisnya. Namun, Yudis tak juga muncul. Bahkan hanya untuk memberinya senyum. Bu Nining duduk di sampingnya. Wajahnya membersitkan kepiluan yang mendalam.

“O Tuhan, kuatkan putriku dalam menerima semua kehendak-Mu,” Bu Nining mengelus kepala putrinya.

Dewanti membuka matanya. Memandang wajah sang ibu dengan mata coklatnya yang sembab. Pandangan sayunya bertemu tatap dengan sepasang mata ibunya yang senantiasa berdoa. Tak ada kata, karena kedua tatapan itu sudah mengatakan segalanya ketika dari kedua pasang itu menetes air mata.

“Sarapan dulu, De,” ucap Bu Nining lirih.

Dewanti menjawab dengan anggukan.

Bu Nining membantu Dewanti untuk duduk. Bersamaan dengan itu, Arya masuk ke dalam ruangan. Di tangannya ada dua kantong plastik yang tak lain adalah bubur kacang ijo kesukaan Dewanti. Ia langsung mendekati Dewanti yang sedang menatapnya. Terbersit harapan dalam tatapan itu Arya membawa kabar tentang Yudis.

“Mau sarapan bubur ayam, apa bubur kacang, De?” tanya Bu Nining.

“Bubur kacang ijo dong ... iyakan!” Arya yang menjawab sembari tersenyum.

“Makasih, Ar.” Dewanti senyum meski sangat dipaksakan.

Bu Nining segera memindahkan bubur kacang ijo dalam plastik itu ke sebuah mangkok. Namun, baru saja ia hendak menyuapi Dewanti, Pak Jovan meneleponnya dari rumah.

“Biar Arya yang menyuapi Dewanti, Bu,” pinta Arya.

Bu Nining memberikan mangkuk itu kepada Arya. Dengan tulus Arya menyuapi Dewanti. Ada kebahagiaan dalam hatinya karena di saat Dewanti membutuhkan seseorang, dia selalu ada di dekatnya. Sedang Bu Nining segera keluar dari ruangan.

“Sudah ada kabar tentang Yudis?” Dewanti menatap Arya.

Arya geleng-geleng kepala.

Dewanti kembali terdiam. Bahkan ketika Arya hendak menyuapinya kembali, Dewanti geleng-geleng kepala sambil menutup mulut.

“Ayo dong, De. Habiskan sarapannya, biar kamu cepet pulih,” rayu Arya.

“Aku nggak ada napsu makan, Ar,” pelan Dewanti.

Arya tak ingin memaksa Dewanti. Ia letakan mangkuk pada meja kecil di samping tempat tidur. Kemudian melangkah menuju jendela dan membuka gordennya. Cahaya matahari menyeruak masuk ke dalam kamar. Lalu Arya kembali duduk di tepian tempat tidur.

“Aku tak tahu harus berkata apa untuk menghiburmu, De. Tapi percayalah, sebagai sahabat aku akan selalu berusaha ada buatmu.”

Lihat selengkapnya