Lima belas menit setelah azan zuhur berlalu, pintu kamar perawatan Dewanti terbuka perlahan. Dokter Bagas muncul di ambang pintu, seorang diri kali ini. Langkahnya tenang, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diterjemahkan. Dalam genggamannya, seikat bunga mawar putih yang masih segar, kelopaknya sedikit bergetar tertiup hembusan pendingin ruangan.
Bu Nining dan Pak Jovan menoleh bersamaan, menyambut kehadiran sang dokter dengan senyum yang mengembang. Ada binar harapan di mata mereka, seolah meyakinkan diri bahwa kehadiran lelaki itu bisa menjadi secercah cahaya bagi putri mereka. Arya telah lebih dulu pulang, meninggalkan ruang perawatan yang kembali diselimuti keheningan.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Dokter Bagas berjalan mendekati ranjang. Dewanti masih berbaring dengan mata terpejam, seolah tak ingin lagi menyaksikan dunia yang terasa begitu berat baginya. Dengan lembut, dokter itu meletakkan seikat bunga di atas bantal, tepat di sisi kepala Dewanti. Keheningan menyusup di antara mereka, hingga akhirnya Dewanti menarik napas pelan, menghirup aroma lembut bunga yang baru saja diletakkan di dekatnya. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka.
Bu Nining dan Pak Jovan saling berpandangan, melihat secercah perubahan pada putrinya.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” suara Dokter Bagas terdengar lembut, namun tegas.
Dewanti hanya menatap kosong, lalu kembali memejamkan mata, seolah memilih diam sebagai jawaban. Pak Jovan menghela napas, sementara Bu Nining menggenggam tangannya sendiri, menahan gemuruh perasaan yang berkecamuk.
Dokter Bagas menggeser kursi dan duduk di sisi ranjang. Kali ini, suaranya lebih lembut, nyaris seperti bisikan. “Dewanti, bisakah kau bangun sebentar? Aku perlu mengganti perbanmu.”
Kelopak mata Dewanti kembali terbuka. Ia menatap dokter muda itu, mencoba membaca sorot matanya. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang berbeda dari sekadar kepedulian seorang dokter kepada pasiennya. Sesuatu yang hangat, tapi juga rapuh. Namun, Dewanti tetap diam.
Tanpa kata, ia mencoba bangkit, meski gerakannya terasa kaku. Seketika, Dokter Bagas mengulurkan tangan, menopang bahunya agar lebih mudah duduk.
“Nah… kamu sudah lebih kuat, kan?” suaranya terdengar ringan, menyelipkan harapan di sela-sela kalimat. “Aku bilang juga apa? Kamu itu wanita yang tangguh.”
Dewanti tersenyum tipis—bukan senyuman bahagia, tapi lebih kepada kewajiban membalas kebaikan orang lain. Sebuah senyuman yang tidak sampai ke matanya.
Pak Jovan dan Bu Nining berpindah ke sisi lain ranjang, memberi ruang bagi Dokter Bagas untuk bekerja. Dengan hati-hati, lelaki itu mulai membuka perban yang melingkari kepala Dewanti. Gerakannya telaten, penuh kehati-hatian, seolah tak ingin menambah sedikit pun rasa sakit. Saat kapas menyentuh kulitnya, Dewanti meringis pelan, tapi tetap tak bersuara.
Dokter Bagas meliriknya sekilas. “Kalau sakit, katakan, Dew.”
Dewanti hanya menggeleng.
Hening kembali menyelimuti ruangan, hanya terdengar desahan napas Dewanti yang tertahan setiap kali perbannya diganti.
Setelah selesai dengan lukanya, Dokter Bagas membantu Dewanti kembali berbaring. Ia menatap gadis itu sejenak sebelum beralih ke orangtuanya.
“Lukanya hampir sembuh,” ucapnya kepada Pak Jovan.
“Patah tulangnya, Dok?” Bu Nining buru-buru bertanya, suaranya penuh harap.
Dokter Bagas menghela napas tipis, lalu menjawab dengan nada hati-hati. “Untuk patah tulangnya, butuh waktu lebih lama. Sekitar tiga sampai empat bulan agar benar-benar pulih. Tapi untuk sementara, dia belum boleh melakukan aktivitas berat.”
Pak Jovan mengangguk paham. Bu Nining meremas jemarinya sendiri, seolah menenangkan diri.
Dokter Bagas dengan sabar membantu Dewanti berbaring kembali setelah mengganti perbannya. Gerakannya lembut, penuh perhatian, seolah ingin memastikan bahwa tidak ada sedikit pun rasa sakit yang bertambah.
Pak Jovan dan Bu Nining saling bertukar pandang, ada kelegaan sekaligus kekhawatiran yang masih menggantung.
"Apakah sebelum sembuh total Dewanti harus tetap dirawat di rumah sakit, Dok?" tanya Bu Nining, suaranya sedikit bergetar.
Dokter Bagas tersenyum tipis. "Tidak perlu, Bu. Kalau perkembangannya terus membaik, Dewanti bisa berobat jalan. Tapi kami harus memastikan dulu bahwa lukanya sudah benar-benar kering dan tidak ada tanda-tanda infeksi."
Bu Nining menarik napas lega. "Alhamdulillah... semoga saja semuanya berjalan lancar."
"Tapi satu hal yang harus diingat," lanjut Dokter Bagas, tatapannya mengarah pada Dewanti yang hanya diam, "Dewanti tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Dia harus banyak beristirahat."
Pak Jovan mengusap wajahnya, nada suaranya sarat dengan penyesalan. "Putriku nggak pernah melakukan pekerjaan berat, Dok. Ke mana-mana dia selalu pakai mobil. Hanya saat itu saja dia naik motor… dan kecelakaan itu terjadi."