Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #15

Doa Sang Pengantin - NEW

Senja meredup perlahan, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Malam datang merayap, dan azan maghrib berkumandang merdu di tengah rintik hujan yang semakin deras. Di dalam rumah sederhana itu, Yudis melaksanakan salat berjamaah bersama Ratri dan ibunya, Bu Farida. Sejak menikah, ibadah menjadi lebih bermakna bagi Yudis. Jika dulu ia sering menunda salat atau bahkan melewatkannya, kini, sebelum azan berkumandang pun ia sudah bersiap menuju masjid. Ratri membawa perubahan besar dalam hidupnya.

Usai salat maghrib, mereka melanjutkan dengan zikir dan doa. Hujan masih mengguyur deras di luar, membentuk simfoni alami di atas genting. Di ruang tengah, Yudis bersandar santai di sofa, sementara Ratri duduk di sampingnya, jari-jarinya bermain dengan ujung kerudungnya.

"Mau kopi, Aa?" tanya Ratri dengan suara lembutnya.

Yudis menoleh, tersenyum tipis. "Boleh. Gulanya setengah sendok aja ya."

Ratri mengernyit. "Kenapa sedikit banget?"

"Kan yang bikinnya udah manis, takut kemanisan. Hehe..."

Ratri mencibir gemas, lalu mencubit lengan suaminya. "Ih, gombal!"

Tawa kecil terdengar di antara mereka. Ratri beranjak ke dapur, sementara Yudis memandangi punggung istrinya yang menghilang di balik pintu. Beberapa saat kemudian, suara deru mesin mobil terdengar di halaman. Sebuah Avanza putih berhenti, dan dari dalamnya keluar Rio serta Tante Diana.

Setelah mengetuk dan mengucapkan salam, mereka masuk. Rio langsung menyeringai melihat Yudis dan Ratri yang duduk berdampingan.

"Cieee… pengantin baru. Lengket banget."

Yudis tak kalah usil. "Harus dong." Ia merangkul Ratri yang tersipu malu.

"Kita nggak ganggu, kan?" Tanya Tante Diana sambil tertawa.

"Ganggu dong!" sahut Yudis dengan tawa kecil.

Dari dalam kamar, Bu Farida keluar masih mengenakan mukena. Ia menatap adiknya dengan penuh tanya. "Ada apa, Dian?"

Tante Diana berdiri, lalu mencium tangan kakaknya dengan hormat. Rio pun melakukan hal yang sama. Setelah duduk kembali, Tante Diana menarik napas pelan sebelum akhirnya berkata,

"Begini, Teh. Saya mau minta tolong Neng Ratri supaya Ustaz Suhada bisa mengantar Rio menikah nanti. Sekalian saya mau tanya soal… ini bener nggak, kalau wanita yang sedang hamil itu nggak boleh menikah? Dan kalaupun menikah, setelah anak lahir, pernikahannya harus diulang?"

Ratri mengerutkan kening. "Kenapa nggak langsung tanya ke Abi aja, Tante?"

Tante Diana tersenyum kaku. "Tante malu, Neng."

"Idih, pake malu segala. Kita kan sudah keluarga," ujar Ratri sambil menoleh ke Yudis. "Iya, kan Aa?"

Yudis mengangguk. "Iya, Tante. Biar lebih jelas, langsung tanya ke Abi aja. Atau kalau nggak mau datang ke pesantren, telepon bisa juga."

"Tante malu kalau lewat telepon. Kayaknya kurang sopan."

"Ya sudah, besok saya anterin Tante ke pesantren sebelum ke Jakarta. Ibu mau ikut?" tawar Yudis.

Bu Farida mendengus kecil. "Ke Jakarta, emoh ah!"

"Bukan ke Jakarta, Bu. Ke pesantren. Jadi selama Aa belum pulang, Ibu sama Ratri bisa tinggal di sana dulu. Nanti saya jemput lagi."

Ratri menyambut ide itu dengan antusias. "Bagus tuh, Aa. Tapi habis subuh langsung ya, biar nggak kejebak macet."

Tante Diana mengangguk setuju. "Baiklah, tante ikut kata kamu. Tapi Neng Ratri nanti bantuin tante ngomong sama Ustaz ya."

"InsyaAllah, Tante," jawab Ratri dengan senyum hangat.

Malam semakin larut. Hujan di luar mulai reda, menyisakan aroma tanah basah yang menyegarkan. Tante Diana dan Rio berpamitan, sementara Bu Farida kembali ke kamar. Yudis menggandeng tangan Ratri, membawanya ke kamar mereka.

Lihat selengkapnya