Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #16

Menjual Galeri - NEW

Pati menyambut uluran tangan Yudis dengan penuh semangat. "Yudisthira! Kakak tertua dari Pandawa yang terkenal bijaksana dan linuwih. Nama yang sangat cocok untuk Anda, Kang!" Pati memuji dengan kagum.

Yudis hanya tersenyum tipis. "Mari kita lanjutkan obrolan di dalam, Bung Pati. Sekalian, saya ingin memperlihatkan bagian dalam galeri ini," ajaknya.

Mereka melangkah masuk. Begitu berada di dalam, mata Pati membelalak. Ia seolah baru saja menemukan harta karun. Lukisan-lukisan berjejer rapi, mencerminkan sentuhan artistik yang begitu dalam. Patung, sketsa, dan benda seni lainnya memenuhi ruangan, menciptakan aura yang khas. Namun, dari sekian banyak karya, ada satu yang membuat Pati terpaku. Sebuah lukisan sepasang mata berwarna coklat yang begitu hidup, seolah menatap langsung ke dalam jiwanya. Tidak ada wajah, hanya mata, tetapi ia bisa merasakan kehadiran pemiliknya.

“Itu lukisan kesembilan yang saya buat,” suara Yudis terdengar tenang, seolah bisa membaca isi pikiran Pati.

“Cantik. Sangat eksotis. Sepasang mata ini seperti mampu mewakili seluruh anatomi tubuh. Siapa pemilik mata ini?” Pati bertanya dengan nada penuh kekaguman.

Yudis menatap lukisan itu lama. Bibirnya bergerak seolah hendak menjawab, tapi tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengalihkan pembicaraan. “Anda suka kopi?”

Pati mengangguk. “Tentu saja.”

Yudis segera menelepon kafe sebelah, memesan dua cangkir kopi. Sementara itu, Pati masih larut dalam kekagumannya, berjalan menyusuri galeri dengan penuh perhatian.

Tak lama, seorang pelayan wanita masuk, membawa nampan dengan dua cangkir kopi di atasnya. Gaun ketatnya membentuk lekuk tubuh, dan tatapan matanya yang genit mengarah pada Yudis saat ia meletakkan kopi di atas meja. Pati, yang sedari tadi memerhatikan, tak bisa menahan diri untuk meliriknya.

Yudis hanya tersenyum tipis melihat tingkah rekannya. Setelah pelayan itu pergi, Pati berseru, “Pacarmu, Kang?”

Yudis menggeleng. “Bukan.”

Pati terkekeh. “Sayang sekali.”

Yudis hanya menanggapi dengan senyum samar. Ia lalu melirik ke arah Pati. “Jadi, bagaimana? Anda suka galerinya?”

“Sangat suka! Tapi... harganya bisa dinegosiasi, Kang?”

Yudis tersenyum, sudah menduga pertanyaan itu. “Saya rasa harga yang saya tawarkan sudah sangat murah, Bung Pati. Apalagi saya menjual galeri ini dengan seluruh isinya. Jika Anda seorang pebisnis, tentu bisa menghitung sendiri berapa keuntungan yang bisa Anda dapatkan nanti.”

Pati tersenyum, menyesap kopinya. Sebelum ia sempat menjawab, Yudis melanjutkan, “Oh ya, kalau boleh tahu, profesi Anda apa, Bung Pati?”

“Saya dokter, tapi dibesarkan di lingkungan seniman. Ayah saya, Rembong.”

Yudis terdiam sejenak, lalu matanya berbinar. “Subhanallah... Jadi Anda putra Gus Rembong? Saya tak menyangka. Beliau adalah inspirasi saya dalam melukis.”

Pati mengangkat bahunya. “Tapi saya tidak bisa apa-apa. Hanya seorang penikmat seni.”

Yudis memperhatikan ekspresi Pati. Ada kesan merendah, tapi sikapnya yang sedikit membusungkan dada dan dagu yang sedikit terangkat cukup untuk menunjukkan kebanggaan dalam dirinya. Namun, Yudis tak mempermasalahkannya. Baginya, yang terpenting adalah galerinya bisa segera terjual.

“Jangan merendah begitu, Bung Pati. Saya yakin darah seni mengalir di tubuh Anda. Dan bagi orang yang benar-benar mencintai seni, nominal bukan masalah, bukan?”

Lihat selengkapnya