Sebulan sudah Ratri dan Yudis berumah tangga. Mereka benar-benar pasangan yang serasi. Tak pernah sekalipun terdengar pertengkaran dalam rumah mereka. Yudis semakin taat beribadah. Rajin mengikuti pengajian di Pondok Pesantren Al Ilma. Tentu saja semua itu membuat Bu Farida senang dan tentram semenjak Yudis menikah dengan Ratri, penyakit jantungnya tak pernah kambuh lagi.
Pagi itu mereka telah rapi. Langit kota Bandung cerah. Tak ada gerimis lagi pagi hari. Musim hujan telah dilewati Yudis dan Ratri penuh kehangatan dan kemesraan. Yudis makin nampak Dewasa dan bijaksana dengan jas hitam yang menutupi kemeja putih. Begitu pun dengan Ratri, ia terlihat bak bidadari yang turun ke bumi dengan busana muslimah. Wajahnya pun selalu menampakan keceriaan dan kebahagiaan. Hari itu, mereka akan mengantarkan sekaligus menyaksikan akad nikah Rio.
“Ibu sudah siap belum, Aa?” tanya Ratri. Tatapan mesra itu tak berubah setiap memandang wajah suaminya.
“Sebentar lagi keluar. Maklum ibu-ibu, dandannya lebih lama dari acaranya,” jawab Yudis sembari tersenyum. “Hari ini Neng cantik banget,” sambung Yudis.
“O jadi kemarin-kemarin Neng nggak cantik, gitu!” Ratri sedikit cemberut manja.
“Ish...” Yudis mengucek-ngucek kepala Ratri gemas. Kemudian memencet hidungnya.
“Aa ih! Kusut dong ....” Ratri makin merajuk manja.
Yudis tertawa sambil memeluk bahu istrinya. Bersamaan dengan itu, Bu Farida telah keluar. Ia pun sama mengenakan busana muslimah. Meskipun usianya sudah mau setengah abad. Namun, guratan-guratan kecantikan masih tersirat di wajahnya.
“Subhanallah … Ibu cantik sekali!” seruYudis.
“Ah, kamu ini kalau sudah menggoda Ibu paling bisa. Yuk berangkat!” sahut Bu Farida.
“Tapi benar kok kata Aa Yudis, ibu memang cantik!” Ratri menimpal sambil tersenyum.
“Kalian sama saja!” Bu Farida seolah tak peduli dengan pujian dari putra dan menantunya. “Ayo, nanti keburu siang!”