“Bangun Yudis! Kenapa kamu tidur di sini? Apa kamu tidak senang kalau kamu mau menjadi seorang ayah!” Bu Farida tiba-tiba muncul dari pintu balkon. Menghancurkan lamunannya.
Tentu saja Yudis sangat kaget. Belum sempat Yudis menjawab, Bu Farida sudah berkata kembali. “Ayo! Temani istrimu sana, Ibu mau tidur,” serunya lagi.
“I … iya Bu,” jawab Yudis gelagapan.
Ia pun segera masuk ke kamar. Ratri sudah memejamkan matanya. Rupanya obat yang diberikan pihak rumah sakit itu mengandung obat tidur. Sebelum ibunya keluar dari kamar, Yudis mengingatkanya untuk minum obat.
“Ibu sehat, Yudis. Karena kebahagiaan akan mempunyai seorang cucu lebih dari obat buat ibu,” Kata Bu Farida.
“Tapi, Bu!”
“Alah udah jangan banyak tapi. Ibu tidur dulu, ya! Kalau ada apa-apa sama istrimu cepat panggil ibu,” ucap Bu Farida setengah berbisik takut mengganggu Ratri yang sedang tidur sangat lelap.
Yudis hanya mengangguk dan tersenyum. Sementara malam kian dewasa. Detak jarum pada jam dinding semakin mengiris hatinya. Dipandanginya wajah Ratri yang tengah tertidur pulas. Kecantikannya seolah hilang di mata Yudis kini. Bersamaan dengan hilangnya rasa cintanya yang berganti benci. Bahkan sangat benci. Andai saja Yudis tidak takut ibunya syok, mungkin saat di rumah sakit pun Yudis sudah menceraikan Ratri.
Malam kian menghanyutkan Yudis ke dalam kubangan resah terdalam. Emosi tinggkat tinggi dalam hati bersetubuh dengan duka. Melahirkan air mata dalam setiap kedipan. Yudis masih saja tak bisa memejamkan matanya. Padahal, tubuhnya sudah sangat lelah. Kedua matanya seolah menolak untuk dipejam. Semakin Yudis berusaha memejam matanya, maka semakin kuat gelisah menyekapnya. Sementara bayangan wajah Dewanti seolah menari-nari dalam benaknya, tertawa puas melihatnya.
Azan subuh berkumandang. Yudis segera pergi ke kamar mandi. Bukan, bukan untuk mengambil wudhu, melainkan untuk cuci muka dan gosok gigi. Keinginannya untuk salat tiba-tiba hilang akibat dari goyahnya iman dalam dada. Yudis malah kembali ke balkon sambil membawa secangkir kopi. Menikmati udara sejuk dengan kopi dan berbatang-batang rokok.
“Aa Nggak tidur? Sudah salat belum?” tiba-tiba Ratri sudah ada di belakangnya dan segera memeluknya. Yudis segera melepaskan tangan Ratri dari tubuhnya.
Ratri sangat heran. Tak biasanya Yudis bertingkah seperti itu.“Ada apa, Aa. Marah ya sama Neng?” Ratri berkata lirih sambil duduk di samping Yudis. Kemudian terbatuk-batuk karena turut mencium asap rokok yang diembuskan oleh Yudis.
“Kamu tidur saja. Sayangi janin dalam rahimmu,” sahut Yudis tegas.
Ratri semakin bingung dengan kelakuan Yudis. Dipandanginya wajah suaminya dalam-dalam. Tangannya coba menggenggam tangan Yudis. Namun, lagi-lagi Yudis menghempaskannya.