Sebenarnya Dewanti tidak terbiasa memakai rok. Bahkan bisa dibilang dia anti Rok. Namun dia harus mengikuti peraturan kampus yang mewajibkan memakai rok untuk semua mahasiswi kedokteran di kampusnya. Mau tidak mau Dewanti pun harus memakainya. Meski awalnya agak risih, tapi kini ia mulai terbiasa. Itu pun hanya ia pakai hanya sebatas di kampus saja. Jika sedang di rumah atau di luar acara kampus maka ia kembali lagi dengan style-nya, memakai celana.
Tapi kali ini karena kaki kanannya belum memungkinkan untuk memakai celana, akhirnya ia memutuskan untuk memakai gaun. Itu pun ia pinjam dari ibunya. Namun, memang pada dasarnya Dewanti cantik dengan tubuh yang ideal, gaun hitam tanpa lengan itu malah semakin membuat aura kecantikannya terpancar.
Tepat jam delapan, ketika langit mulai dihiasi bintang-bintang. Bagas datang dengan mobil BMW-nya. Setelah berpamitan pada Bu Nining, mereka pergi. Menuju salah satu kafe di kawasan Kemang. Sepanjang perjalanan, Dewanti lebih sering menatap keluar memandang lampu-lampu kota yang berserakan. Pada, tiang-tiang jalanan dan pada gedung-gedung bertingkat. Begitu indah Jakarta malam hari. Namun, semua keindahan itu takan pernah ditemui pada siang hari. Karena Jakarta siang hari lebih terasa seperti cucunya neraka. Begitu panas dan kotor.
“Kamu senang, De?” tanya Bagas sambil melirik Dewanti ketika mereka terjebak lampu merah.
“Seneng banget, Kak,” jawab Dewanti tanpa menoleh.
“Syukurlah kalau senang,” Mata Dokter Bagas tetap menatap Dewanti dari samping. Rambut yang sengaja tergerai itu, menutupi sebagian bahunya yang putih berbulu lembut. Bagas sangat bangga bisa pergi bersama gadis secantik Dewanti.
“O iya, katanya kamu seneng nyanyi ya?” tanya Bagas sambil kembali menginjak pedal gas.
“Iya,” singkat Dewanti.
“Bagaimana kalau kapan-kapan kita karaoke?”
“Nggak janji ya, Kak. Karena terkadang kalau lagi malas, aku tak kan mau diajak siapa pun ke mana pun.”
“Iya deh ....”
Bagas memperlambat laju mobilnya. Kemudian memasuki halaman sebuah kafe yang di bagian pintu masuk ada sebuah tulisan bercahaya ‘Caffee n Music’. Mobil berhenti. Bagas segera turun dari mobilnya. Sementara wajah Dewanti ketika itu, tiba-tiba berubah sendu. Bagaimana tidak, di kafe inilah pertama kali ia bertemu dengan Yudis. Di kafe ini juga terakhir mereka bertemu. Air mata mengendap di kedua sudut matanya.
Bagas tak menyadari itu. Ia turun dan membukakan pintu untuk Dewanti. Kemudian mengulurkan tangan mengajaknya untuk turun. Sebenarnya saat itu Dewanti ingin berlari menjauh dari kafe tersebut. Terlalu dalam kenangan di kafe itu. Tapi sayang ia tak mampu. Jangankan untuk berlari, berdiri saja ia masih sedikit sulit. Akhirnya Dewanti hanya bisa menguatkan hatinya. Berusaha membunuh semua kenangan dengan menarik napas dalam. “Untuk apa kau mengharap pria yang sudah jelas-jelas menjadi istri wanita lain,” desahnya dalam hati ketika Bagas menggandeng tangannya memasuki kafe itu.
Bagas memilih tempat paling pojok dengan pencahayaan remang-remang. Dewanti hanya menurut tak mau menolak sambil terus menguatkan hatinya. Tapi, Bagas lebih mengartikan diamnya Dewanti itu sebagai rasa senang karena diajak ke sebuah tempat yang menurutnya cukup romantis.
Seorang gadis bercelana jeans dan kaos berwarna merah menghampiri lalu menyerahkan daftar menu. “Samain aja,” kata Dewanti sambil menunduk menyembunyikan wajahnya yang telah basah oleh air mata. Namun, karena cahaya lampu yang remang-remang, Bagas tak melihatnya.
Tak lama pesanan datang. Sementara pikiran Dewanti makin kacau. Ia tak mampu menghilangkan bayangan wajah Yudis. Dulu mereka sering duduk di kursi ini. Saling meggenggam tangan begitu mesra sambil mendengaran lantunan lagu-lagu romantis.
“Suka tempat ini, De?” tanya Bagas. Namun matanya jelalatan memandangi para pelayan kafe yang seksi. Untung saja ketika itu Dewanti sedang menunduk sehingga tak mengetahui kelakuan Bagas. Dewanti sangat tidak suka kepada pria mata keranjang.
“Suka, Kak,” jawab Dewanti pelan sambil menyeka air mata dengan tangannya.
Bagas melirik Dewanti sudah mengangkat wajahnnya. “Ayo sambil diminum!” seru Bagas sambil mengeser duduknya mendekati Dewanti.
Dewanti mencoba tersenyum di tengah keonaran dalam kepalanya. Ia berusaha keras untuk terlihat biasa oleh Bagas. Dewanti meraih gelasnya. Kemudian meminumnya lalu memainkan sedotannya sambil matanya menatap ke depan. Bersamaan dengan itu, tiga orang pria menenteng gitar akustik naik ke atas pentas.
“Arya!” seru Dewanti. “Sejak kapan dia nyanyi di kafe?” tanya Dewanti kepada dirinya sendiri.
“Apa De?” tanya Bagas.
“Kak Bagas masih ingat nggak sama temen satu kampus Dewanti yang ketemu di Rumah Sakit?”
“Tentu saja, kenapa emangnya?”
“Itu lihat! Dia ada di depan.” Dewanti menujunjuk dengan tatapan.
Bersamaan dengan itu pun seorang wanita berpakaian ketat naik ke atas pentas dan memperkenalkan Arya dan kedua temannya sebagai grup band yang akan menhibur para pengunjung. Sementara Bagas, entah apa yang ada dalam pikirannya ketika tiba-tiba dia berdiri.