Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #26

Pasrah

Malam itu mengajarkan mereka semua betapa rapuhnya kehidupan. Seperti kaca tipis yang bisa retak kapan saja, setiap momen datang sebagai ujian yang tak terduga.

Yudis duduk di kursi tunggu, kepalanya tertunduk, jari-jarinya saling meremas. Sesak di dadanya makin menjadi. Dari balik kaca ruang perawatan, ia bisa melihat ibunya terbaring lemah. Wajah perempuan yang telah melahirkannya itu tampak pucat, napasnya tersengal.

"Ya Allah, jika ini ujian, berikanlah aku kekuatan. Jangan Kau ambil nyawa ibu dan Ratri..." doa itu berulang di dalam hatinya, menggema dalam kepasrahan yang bercampur ketakutan.

Di ruangan lain, Dewanti berdiri di samping ranjang Ratri. Matanya tertuju pada monitor USG yang memantulkan bayangan kecil di layar. Harapan menggantung tipis di antara kecemasan dan ketidakpastian.

"Hidup tak pernah benar-benar adil, tapi selalu menyelipkan harapan, walau sekecil embun di ujung daun."

Dewanti menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menoleh ke arah perawat yang tengah mengamati kondisi Ratri.

“Bagaimana, suster? Janinnya...?” suaranya hampir tak terdengar.

Perawat itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Detaknya masih ada. Kita lihat perkembangannya dalam beberapa jam ke depan.”

Dewanti mengangguk pelan. Hatinya sedikit lega, tetapi bayang-bayang ketakutan masih mengintai.

***

Sementara itu, di lorong rumah sakit, Yudis berjalan mondar-mandir. Kecemasannya tak terbendung. Tante Diana menghampirinya, mencoba menenangkan.

“Yudis, duduk dulu. Jangan terlalu tegang, Nak...” ucapnya lembut.

Tapi Yudis hanya menggeleng. Tubuhnya kaku, pikirannya berkecamuk. Dewanti, yang sedari tadi memperhatikannya, tak sanggup lagi menahan air mata. Ia tahu betul betapa kerasnya hati Yudis, tetapi malam ini pria itu terlihat begitu rapuh.

“Yudis...” panggil Dewanti lirih.

Langkah Yudis terhenti. Ia menatap Dewanti, lalu tanpa sadar merengkuhnya dalam pelukan.

Air matanya pecah, mengalir deras di bahu perempuan itu. Selama ini, ia menahan segalanya—amarah, penyesalan, kehilangan. Tapi malam ini, ia tak sanggup lagi berpura-pura kuat.

Dewanti terdiam, membiarkan Yudis meluapkan emosinya. Hatinya terasa ngilu. Ia bisa merasakan luka yang menggores pria itu begitu dalam.

Setelah beberapa saat, Yudis melepaskan pelukannya perlahan. Matanya sembab, wajahnya pucat.

“Mungkin ini karma...” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku sudah menyakitimu, Dew...”

Dewanti tersenyum tipis, meski air matanya ikut menetes. Ia menggenggam tangan Yudis erat.

“Bukan karma, Yudis...” suaranya lembut, berusaha menguatkan. “Ini ujian. Allah ingin kita belajar, ingin kita lebih berhati-hati di masa depan. Percayalah, badai ini akan berlalu...”

Tante Diana mendekat, mengusap kepala Yudis pelan. “Yang bisa kita lakukan sekarang hanya berdoa. Semoga ibumu dan istrimu baik-baik saja.”

Yudis mengangguk lemah. Dalam keheningan, pikirannya melayang pada sosok almarhum ayahnya. Jika ayah masih ada, mungkin semuanya akan terasa lebih ringan.

"Maafkan Yudis, Ayah... Yudis belum bisa menjaga Ibu dengan baik..."

Air matanya kembali jatuh. Malam itu, rumah sakit menjadi saksi, bahwa di antara kehilangan, penyesalan, dan ketakutan, hanya doa yang bisa menyelamatkan hati yang hampir runtuh.

***

Malam itu, ruang VIP rumah sakit diselimuti keheningan yang menusuk. Cahaya lampu neon memantulkan bayang-bayang cemas di wajah mereka yang menunggu dengan harapan menggantung. Aroma obat-obatan bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan, menghadirkan atmosfer yang penuh tekanan. Perawat sibuk menyiapkan alat kejut jantung, menyerahkannya pada Dokter Haura yang segera memasangnya di dada Bu Farida. Setiap detak mesin menjadi harapan yang dititipkan pada keajaiban.

Dokter Haura menarik napas panjang, ekspresinya menggelap. “Bu Farida sangat syok. Sampai saat ini, beliau belum juga sadar.”

Yudis berdiri kaku di ambang pintu, kedua tangannya terkepal. Napasnya pendek, dadanya terasa seperti dihantam batu besar. “Apa tak ada lagi yang bisa dilakukan, Dok?” Suaranya nyaris bergetar. “Ayolah, hampir setahun ini saya melihat Dokter begitu optimis menangani Ibu.”

Lihat selengkapnya