Hujan Paling Jujur Di Matamu

Hadis Mevlana
Chapter #27

Sebelum Semuanya Terlambat

Malam itu, udara di ruang IGD terasa berat, dipenuhi aroma antiseptik dan suara sesekali monitor medis berbunyi. Keheningan yang menyesakkan itu pecah oleh isakan tertahan dari Ratri. Ia terbaring di ranjang rumah sakit, kedua tangannya meremas perutnya yang nyeri. Air matanya mengalir deras, membasahi wajahnya yang semakin pucat.

Dewanti, yang duduk di kursi di sampingnya, tersentak mendengar tangisan itu. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan mendekat, meraih tangan Ratri dengan lembut.

“Kamu kenapa, Ratri? Nyeri lagi? Aku panggil perawat, ya?” suara Dewanti dipenuhi kecemasan.

Ratri menggeleng lemah, berusaha mengendalikan perasaannya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir kegelisahan yang melingkupinya. “Aku cuma kepikiran Ibu... Gimana kondisi beliau sekarang, De? Sudah baikan?” tanyanya dengan suara bergetar.

Di sudut ruangan, Yudis yang sejak tadi berdiri diam, menghela napas panjang. Matanya yang letih tiba-tiba menyala penuh kemarahan. Ia melangkah mendekat, menatap Ratri dengan sorot yang tajam dan menusuk.

“Enggak usah pura-pura peduli!” suaranya mencibir. “Mau sampai kapan kamu menipu Ibu? Dasar munafik!”

Ratri terkejut. Tatapan Yudis membuat dadanya sesak. “Aa, apa maksud Aa? Aku enggak pernah berniat menipu siapa pun! Aku—”

“Lalu kenapa kamu enggak bilang dari awal kalau kamu sudah berzina?!” suara Yudis meninggi, penuh amarah yang tertahan. “Di depan Ibu kamu sok alim, tapi nyatanya?!”

Tuduhan itu menghantam Ratri seperti petir di siang bolong. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan isak. Air matanya kian deras, tapi ia tak sudi membiarkan dirinya terlihat lemah.

“Aa tega menuduh aku seperti itu?” suaranya bergetar. “Aku... aku diperkosa, Aa! Oleh Bagas!”

Sejenak, dunia terasa berhenti. Ruangan yang tadinya dipenuhi ketegangan berubah senyap. Dewanti menatap Ratri dengan mata terbelalak, sementara Yudis membeku di tempatnya, wajahnya mendadak pucat.

Dari balik tirai, terdengar suara lirih Ibu Farida. “Astaghfirullah...” Suaranya berat, tersengal-sengal.

Yudis menoleh dan mendapati ibunya yang tengah memegangi dada kirinya. Wajah wanita itu tampak pucat, napasnya tersengal.

“Ibu!” Yudis bergegas mendekat, meraih tubuh ibunya yang mulai melemah. “Dokter! Suster! Tolong Ibu saya!” suaranya panik, menggema di ruangan.

Dewanti menahan Ratri yang hendak bangkit dari ranjang. “Aku harus lihat Ibu! Semua ini salahku! Aku harus bertanggung jawab!” teriaknya histeris, mencoba melepaskan diri.

“Tenang, Rat!” Dewanti memeluknya erat. “Biarkan dokter yang menangani. Ibu butuh kamu tetap kuat!”

Di tengah kekacauan itu, sosok Bagas tiba-tiba muncul. Sikapnya santai, seolah tak terjadi apa-apa. Ia melangkah mendekat dengan seringai di wajahnya.

“Dewanti! Dewi Penawan Hati!” katanya dengan nada ringan. “Kita pulang, yuk. Aku bisa jelaskan semuanya.”

Dewanti menatapnya dengan jijik, matanya menyiratkan kemarahan yang terpendam. “Jelaskan di sini saja, Kak.” Ia lalu menoleh ke Ratri. “Rat, ceritakan. Siapa sebenarnya Bagas?”

Ratri menatap Bagas tajam. Dadanya naik-turun, emosi berkecamuk dalam dirinya. Perlahan, ia turun dari ranjang, membuat Dewanti terkejut.

Dengan suara parau, ia berkata, “Yang aku tahu cuma satu. Pria bejat ini telah merenggut kehormatanku dengan keji!”

Bagas mendengus. “Apa-apaan ini?” Ia tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Kamu percaya kata-kata perempuan murahan ini begitu saja, De?”

Ratri mengepalkan tangannya, kemarahan yang selama ini ia tahan kini membuncah. Ia berteriak, “Karena kamu, hidupku hancur! Aku hamil, dan suamiku tahu ini bukan anaknya! Aku bunuh kamu, Bagas!”

Dewanti berusaha menahan Ratri, tapi amarah yang membara dalam dirinya sudah tak terbendung. Dengan tangan gemetar, Ratri melangkah maju dan berusaha mencekik Bagas. Wajah pria itu mendadak pucat, tubuhnya menegang dalam ketakutan.

Dewanti akhirnya berhasil menarik Ratri ke pelukannya, menahannya dengan sekuat tenaga meskipun air matanya juga mengalir.

Keributan itu menarik perhatian semua orang di luar ruangan. Yudis, yang sedang bersama Ibu Farida, mendengar teriakan itu dan segera masuk. Begitu melihat Bagas, wajahnya berubah.

Lihat selengkapnya