Sepanjang perjalanan, Ratri terus menatap wajah Yudis dari balik kaca spion depan. Terlihat jelas oleh Ratri wajah Yudis pucat. Namun mata hitam menyamarkannya. Beberapa kali juga Yudis berusaha menahan batuk dengan menggigit syal. Bu Haidar tak mengetahui itu karena sejak tadi ia hanya memandang keluar jendela.
Ratri ingin sekali mengingatkan Yudis agar jangan memaksakan pergi. Ingin sekali ia mengajaknya ke rumah sakit. Tapi semua itu hanya mampu ia ungkapkan dalam hati. Ratri tak mau membuat Bu Haidar kaget. Mungkin itu juga alasan kenapa Yudis menyembunyikan sakitnya.
Seperti biasa, jalanan kota Bandung sore hari diakhir pekan macet-macet ayam. Laju kendaraan tersendat-sendat. Yudis semakin terlihat lelah oleh Ratri. Akhirnya Ratri pun tak kuasa menyembunyikan kecemasannya. Ketika Mobil berhenti di sebuah lampu merah, ia membuka jendela. Berteriak kepada seorang penjual asongan membeli sebotol minuman mineral. Lalu menutup jendela kembali setelah membayarnya.
“Kamu haus ya? Memang kalau sedang hamil itu ke mana-mana sebaiknya bawa cemilan dan air minum.”
Ratri hanya tersenyum sambil membuka tutup botol. Kemudian diberikannya kepada Yudis. “Ini minum, Aa.”
Yudis menerimanya tanpa kata. dan langsung meminumnya. Kemudian menaruh botol air mineral itu di dasboard.
Bu Haidar tersenyum. “Ibu kira buat Neng.”
“Ratri lupa kalau Aa Yudis belum minum air putih dari rumah, Bu,” jawab Ratri.
“Neng benar-benar istri yang baik, Ibu sangat menyayangimu.” Bu Haidar tersenyum lembut kepada menantunya.
Ratri balas tersenyum. “Neng hanya melakukan kewajiban seorang istri, Bu,” jawabnya.
Bukan, itu bukan semata kewajiban tapi cinta. Ketika cinta bersemayam dalam dada, selalu ingin berbakti meskipun tersakiti. Cinta membuat si pecinta selalu ingin yang terbaik untuk yang dicinta. Sucinya cinta tak kan pernah habis terkikis air mata karena ketika kita sudah berani mencinta, maka kita pun harus siap memasrahkan segenap jiwa kepada bahagia dan airmata. Dan bila lampu hijau menyala maka Mobil pun kembali melaju tenang.
***
Senja hampir usai ketika mereka tiba di Margahayu Raya tempat kini Rio dan istrinya bertempat tinggal. Rio masih tinggal serumah dengan kedua mertuanya. Namun itu sepertinya tidak masalah bagi Rio karena Pak Handoko dan Bu Han kedua mertuanya kini sangat menyayanginya. Betapa tidak, Rio yang berpenampilan slengean itu ternyata begitu sayang dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar.
Rio bekerja keras bukan hanya mencukupi kebutuhannya sendiri, tapi kebutuhan sehari-hari kedua mertuanya itu ia yang tanggung padahal, Rio pun masih harus sekolah. Padahal Bu Han dan Pak Han termasuk orang yang berkecukupan.
Rio menyambut kedatangan orangtuanya dengan wajah sumringah. Bahkan Om Syam sempat terkejut ketika Rio mencium tangannya. Tante Diana segera memeluk putranya itu. Tante Diana sedikit pun tak menyangka kalau Rio berubah sedemikian cepat. Rio yang dulu menganggap orangtua hanya sebagai teman, kini begitu takzim. Bu Haidar pun tersenyum melihat itu. Sementara Yudis dan Ratri hanya diam.
Bu Han dan Pak Han segera keluar menyambut kedatangan keluarga besarnya. Dengan keramahan yang tidak dibuat-buat, Bu Han menggandeng Tante Diana membawanya masuk.
“Loh, Raranya mana?” tanya Tante Diana setelah semua duduk di ruang tengah pada karpet merah bergambar burung merak.
“Lagi di kamar, Bu. Habis muntah-muntah barusan. Sebantar Rio panggilkan.”
“Nggak usah kasihan. Biar Mama yang ke sana. Kalau boleh sih.”
Tapi rupanya Rara sudah keluar dari kamar dan langsung menyalami semua. Kemudian duduk di samping Rio. Bahkan tak segan-segan Rara bermanja pada Rio.
“Yah, beliin Rara rujak cingur dong …,” katanya sambil tersenyum menatap Rio.
“Waduh, mana ada yang jualan rujak cingur jam segini, Ra?” Rio membelai kepala istrinya.