Sementara itu, Yudis dan Dewanti duduk berdampingan di samping Bu Farida yang masih tertidur lelap. Dewanti bisa merasakan betapa hancurnya hati Yudis dengan kejadian yang sedang menimpanya.
Perlahan, sangan pelan, tangan Bu Farida yang dipegang oleh Yudis bergerak. Tak lama matanya terbuka dan tatapan langsung bertemu dengan wajah lelah Yudis. Terlihat beberapa kali Bu Farida menghela napas dalam. Yudis yang mengetahui itu tentu saja sangat senang.
“Ibu sudah bangun,” katanya pelan.
Bu Farida menarik napas kembali sebelum akhirnya berkata. “Maafkan Ibu, Yudis. Ibu tidak tahu bahkan tak membayangkan semua ini akan terjadi,” ucapnya sangat lirih disertai linangan air mata.
“Ibu tidak salah apa-apa. Dalam hal ini, Yudis yang harus dipersalahkan atas semua ini. Andai saja Yudis percaya ketika Ratri mengatakan sesunguhnya ia adalah korban kebejatan seorang pria, Yudis yakin ini semua tak kan pernah terjadi.” Amarah Yudis pada Bagas bangkit kembali.
Bu Farida menghela napas dalam kemudian mengalihkan pandangan kepada Dewanti yang saat itu sedang memegang tangan Yudis. Sorot matanya menyiratkan tanda tanya melihat kemesraan Dewanti kepada Yudis.
Belum sempat ada yang bicara kembali, Tante Diana dan Bu Nining yang pergi untuk membeli sarapan untuk Yudis dan Dewanti sudah kembali. Bu Nining memberikan semangkuk bubur ayam kepada Dewanti dan menyuruhnya untuk sarapan di luar. Dewanti mengikuti saran ibunya lalu keluar bersama dengan Bu Nining. Sedang Yudis hanya geleng-geleng kepala ketika Tante Diana berlaku sama kepada Yudis.
“Teteh sudah bangun rupanya.” Tante Diana meletakan mangkuk bubur ayam pada meja kecil di samping tempat tidur.