Hujan Pythagoras

Nurul Wulan Rahmawati
Chapter #5

Bagian 5 Amber

 

Mungkin memang benar. Kebahagiaan tak cocok untukku. Mungkin aku sudah terlalu sempurna. Mungkin aku sudah memiliki segalanya. Lalu, mengapa aku harus mengharapkan yang lain? Mengapa aku harus mengharapkan teman, keluarga dan kesetian?

 

Ah ... Baim. Seandainya, kamu tahu kesepianku. Seandainya kamu tahu apa yang tengah kurasakan saat ini tanpamu. Aku menyesal hanya gara-gara cinta aku meninggalkanmu. Karena sebuah kata yang belum aku paham maksudnya aku harus mengorbankan persahabatan kita dan lebih mementingkan egoku. Aku menyesal. Mengabaikan seluruh kebaikanmu padaku.

 

Aku yang bodoh. Aku yang tidak mau mengerti. Yang pura-pura sok pintar. Aku yang merasa telah mengetahui segalanya.

 

Tapi, tertipu oleh satu kata. Cinta.

 

Kamu mengajariku Baim tapi aku tidak mau peduli. Padahal kamu hanya ingin aku dan Chilla bahagia. Kamu rela meninggalkan kami hanya untuk mengobati luka yang bahkan aku tidak mampu menyembuhkannya. Yang bahkan diriku yang payah ini tidak tahu cara memperbaiki kesalahannya.

 

Maafkan aku Baim. Maafkan keegoisanku. Aku ingin kamu kembali.

 

Baim, aku selalu merindukanmu dan setiap perkataanmu selalu terngiang-ngiang dalam hidupku.

 

Kembalilah Baim. Ku mohon.

 

***

 

Masa akhir semester 2 hampir habis, para murid yang belum mengumpulkan tugas remidi ulangannya bergegas menyelesaikan dan menyerahkan pada guru pengampu masing-masing. Biasanya untuk meringankan tugas harian berupa pr atau bahkan remidi, lebih mudah diselesaikan dengan belajar kelompok. Baik yang dekat rumahnya ataupun yang sering akrab satu sama lain.

 

"Hei, Chilla! Tugas akhir seni budayamu sudah selesai?" tanyaku pada gadis manis disebelahku yang berkerudung putih.

 

"Oh.. yang melukis itu? Sudah dong. Kan aku pintar melukis." jawabnya sembari mengedipkan salah satu matanya yang bercahaya.

 

Di dunia ini ada banyak hal yang aku suka. Matahari yang terbit pada pagi hari. Burung-burung yang berkicau. Suara Bibi yang tengah menggoreng nasi goreng favoritku. Suara mobil ayahku yang pulang dari kerja. Dan diantara semua itu, hal yang paling aku suka adalah matanya Chilla yang berwarna amber. Kedua bola matanya yang berwarna kuning keemasan.

 

Sejak pertama kali aku bertemu dengannya tiga tahun lalu. Hingga kami sekarang berumur sepuluh tahun, aku selalu mengagumi bola mata Chilla yang sangat menakjubkan. Terkadang aku diam-diam memandangi kedua bola matanya tanpa ia sadari. Aku melihat pupil matanya yang hitam bagai pusaran nebula yang berputar. Dan galaksi-galaksi bintang yang berpendar mengitari sekelilingnya. Setiap aku melihatnya, setiap itu juga aku makin mengaguminya.

 

"Apa yang kamu lihat, Angga?" tanya Chilla menangkap basah diriku yang tengah memandangnya tidak jauh dari tempat duduknya.

 

Lihat selengkapnya