Hujan Pythagoras

Nurul Wulan Rahmawati
Chapter #6

Bagian 6 Senja

Aku terhenyak mendengarnya. Tidak menyangka kalau ayah Baim bakal segalak ini. Pantas saja ia tidak suka kalau kami belajar kelompok dirumahnya. Aku bingung mau membalas apa atas perkataan ayah Baim. Aku berteman dengan Baim karena ia teman yang baik dan tidak pernah memilih-milih orang. Tidak pernah memanfaatkan orang. Atau berkhianat sekalipun.

 

Sejak aku kecil semua orang yang berteman denganku hanya gara-gara aku kaya dan ingin agar aku membelikan semua barang yang ia suka. Ada juga yang berteman padaku cuman memanfaatkan kepintaranku saja. Giliran aku tidak mau, ia akan mengancam memberitahu guru soal kesalahanku yang cuman seberapa. Sejak saat itu, aku tidak percaya pada siapa pun lagi. Dan tidak ingin berteman dengan siapa pun.

 

Namun, ketika bertemu dengan Baim dan melihat ketulusannya saat ia menolongku dari kejahilan teman sekelasku waktu itu. Aku mengagumi dirinya bukan karena ia kaya atau pintar tapi karena ia baik, berhati tulus, dan sangat peduli dengan orang lain. Aku tidak merasa Baim itu bukan siapa-siapa tapi dia adalah orang yang spesial di mata siapa pun. Semua orang menyukainya. Tetapi, mengapa ayah Baim tidak mampu melihat keistimewaan Baim?

 

"Paman, Baim adalah seorang penghafal Al-Qur'an. Ia sudah berhasil menyelesaikan hapalannya 15 juz dalam waktu 6 bulan. Padahal ia masih berumur 10 tahun. Tidak hanya itu Baim juga memiliki suara yang sangat bagus. Ia sering jadi imam di masjid meski dalam umur yang masih muda. Apakah paman tidak bangga punya anak sepertinya?" Chilla angkat bicara. Tidak kusangka Chilla membela Baim segitunya. Bahkan kulihat alisnya yang terangkat, matanya yang membulat kesal, dan tangannya yang tergenggam erat.

 

Aku belum pernah melihat wajah Chilla yang selalu terlihat manis dan menggemaskan sekarang begitu tampak kesal dan geram. Seandainya, saja aku yang berada di posisi Baim. Yang dibela begitu hebatnya oleh Chilla. Yang sangat dikagumi oleh matanya yang berkilau cerah namun ia marah kalau ada yang berani menjelekkan kesukaannya.

 

Ya, Chilla suka dengan suara ngaji Baim. Setiap Baim mengaji dengan nadanya yang sangat merdu meski itu dilakukannya di depan murid-murid TPA. Chilla membulatkan matanya terpesona, tanpa berkedip sedikit pun. Kedua bola mata Chilla yang keemasan bagai angkasa dengan sejuta kerlip bintang di dalamnya hanya memancarkan bayangan Baim. Aku tersadar aku tidak memiliki ruang untuk mengambil alih bayangan Baim di bola mata Chilla. Angkasa Chilla hanya untuk Baim. Sejujurnya, aku selalu cemburu pada Baim. Tapi, aku selalu menyembunyikannya.

 

Baim yang selalu baik dan peduli pada orang. Yang selalu menolong orang lain. Yang rajin sholat tahajud setiap waktu. Yang shalat sunnah rawatibnya tidak pernah bolong apalagi wajibnya. Yang selalu puasa senin kamis. Yang selalu membuat Chilla terpana olehnya. Baim adalah angkasa bagi Chilla. Tapi, Chilla adalah angkasa bagiku. Bagaimana? Bagaimana aku bisa membohongi mereka berdua?

 

Ayah Baim berdecak kesal. Aku takut Ayah Baim akan memarahi Chilla dengan jauh lebih mengerikan. Tetapi, sepertinya prediksiku salah. Ayah Baim kembali duduk dengan tenang dan berkata, "Chilla siapa yang mengajarimu hal seperti itu? Kau bersikap berani pada orang tua. Sikap yang kurang sopan."

 

Perkataan yang sangat tajam dan menusuk keluar dari mulut ayah Baim. Sepertinya, perdebatan ini harus segera diselesaikan kalau tidak akan berlarut-larut hingga nanti. Tetapi, melihat sosok ayah Baim yang keras kepala seperti tidak ada harapan percakapan ini akan selesai.

 

"Paman, ayahku bilang kita harus membela kebenaran walau akan ditentang. Apalagi kalau ada yang menghina seorang penghafal Al-Qur'an. Sebagai seorang manusia, aku harus membela Penciptaku juga Kalam-Nya. Sedangkan, penghafal Al-Qur'an adalah penjaga Kalam-Nya," kata Chilla tanpa gentar sedikit pun. Aku menelan ludah berusaha menenangkan diriku yang bergetar panik. Padahal seharusnya Chilla yang ketakutan bersanding lawan dengan ayah Baim. Tapi, malah aku yang hatinya jatuh luruh.

 

"Paman, ayahku pernah bilang kalau ia lebih bangga melihatku bersama Al Qur'an karena bacaan Qur'anku dapat terdengar hingga ke surga. Setiap aku kangen dengan kedua orangtuaku aku selalu membaca Al Qur'an dan aku percaya bacaanku terdengar oleh mereka." Chilla menurunkan bahunya yang sedari tadi menegang. Ia menghembuskan napasnya dan memejamkan matanya perlahan. Chilla bagaikan magnet ia menarik seluruh perhatian untuk tertuju ke arahnya.

 

Lihat selengkapnya