Hujan Pythagoras

Nurul Wulan Rahmawati
Chapter #7

Bagian 7 Benang Mimpi

Pintu itu terbuka dengan keras. Memunculkan sesosok pria tua dewasa dengan sebotol bir di tangannya. Ia nampak mabuk berat. Jantungku berdegup amat kencang. Keringat dinginku merembes membasahi persendianku. Mataku terbelalak ketakutan.

 

Datang seorang perempuan menghampirinya berusaha melepaskan botol bir di tangan pria itu. Namun, hanya dengan sekali ayunan perempuan itu terdorong ke belakang. Terjatuh. Aku terkejut. Jantungku makin berdetak tidak karuan.

 

Pria itu mendekat ke perempuan itu dengan terseok-seok. Ia melangkah dengan susah payah berusaha menahan kesadarannya. Sesampainya, di depan perempuan itu pria itu mengangkat salah satu kakinya dan menendang perempuan itu tepat di punggungnya.

 

"Ibu!" teriakku kencang. Aku berlari sekuat tenaga menuju perempuan itu dan mencoba menahan langkah kaki pria itu yang masih menendangnya. Namun, karena perbedaan kekuatanku dengan pria itu aku kalah. Aku tidak bisa menghentikan kejahatannya pada ibuku.

 

Aku menangis tersedu dan hanya bisa melindungi ibuku dengan tubuhku. Menerima semua rasa sakit yang dilampiaskan pria itu padaku. Berulangkali. Berulangkalinya padaku.

 

***

 

Aku terbangun. Bernapas terengah-engah

Seolah-olah mimpi itu tampak nyata di hadapanku. Aneh. Sudah kedua kalinya aku bermimpi seperti ini. Mengerikan rasanya. Aku dapat membayangkan pria jahat itu memukuliku dengan perempuan entah siapa yang kupanggil ibu. Tidak nampak jelas kedua wajah mereka. Namun, aku dapat merasakan ikatan batin yang amat jelas dengan perempuan itu. Siapa sebenarnya yang sedang kumimpikan ini?

 

Aku menolehkan wajahku ke arah jendela kaca dengan korden yang terbuka. Terdengar suara rintik-rintik hujan jelas menjatuhi jendela. Membentuk guratan-guratan yang terlukis di beningnya malam seperti sebuah surat yang dititipkan untukku. Aku melihat sebuah segitiga tergambar disana. Terhubung satu sama lain. Di sudut-sudutnya berpendar cahaya terang kemudian menghilang menyatu bersama buliran air lainnya.

 

Aku terdiam sejenak. Mencoba berpikir ada sesuatu aneh yang menghampiri hatiku secara tiba-tiba. Perasaan takut dan gelisah. Bersemayam disana. Sebuah kesedihan menggenang di lubuk hati seraya memohon pertolongan. Aku memandang ke arah langit dan merasakan buliran hujan yang datang dari suatu arah yang tidak terlihat. Merasuk ke dalam jiwaku dan menyampaikan sebuah pesan. Ada yang terluka disana. Benar. Ada yang disembunyikan.

 

***

 

"Baim!" sapaku pada laki-laki yang tengah memegang mushaf Al Qur'an. Saat ini menunjukan jam istirahat. Tetapi, ia malah tidak ke kantin dan asyik membaca Al Qur'an. Ya, aku tidak ingin menyalahkannya. Hanya saja ia jarang seperti ini.

 

"Kamu kenapa?" tanyaku khawatir padanya. Baim hanya tersenyum merespons pertanyaanku dan melanjutkan bacaannya. "Ada sesuatu yang mengganggu hatimu ya?"

 

"Gak kok," jawabnya seakan tidak ingin diganggu. Aku menghela napas menyerah.

 

Chilla datang menghampiri kami dan duduk di sebelahku. Matanya tertunduk. Menatap lantai kelas yang berkeramik dan menggerakan tangannya gelisah.

 

"Kamu kenapa?" tanyaku lagi pada satu orang temanku yang juga bersifat aneh.

 

"Aku mimpi buruk semalam. Sampai sekarang aku tidak bisa lupa."

Lihat selengkapnya