Hujan Pythagoras

Nurul Wulan Rahmawati
Chapter #8

Bagian 8 Obat

Pagi harinya aku berangkat ke sekolah dengan perasaan yang menumpuk. Mencoba melupakan kejadian tadi malam berharap semuanya akan berjalan baik-baik saja. Meskipun begitu, tidak mungkin aku berpura-pura tidak tahu dan tidak melihatnya. Terus hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Kepalaku berputar mencari celah apa yang harus kulakukan agar masalah Baim dapat selesai.

 

Aku melihat Baim datang dari arah pintu kelas. Bingkai wajahnya muram bagai bulan yang kehilangan cahaya. Aku menangkap ada luka yang diperban di kepalanya. Aku memandangnya kasihan. "Baim, kepalamu kenapa?" panggilku berdalih tidak tahu.

 

"Jatuh dari sepeda kemarin," tuturnya santai.

 

Aku mendesis sebal ke arah Baim. Mengapa dia sangat keras kepala? Memendam semuanya seolah-olah hanya dia yang bisa menahannya. Baim duduk di kursinya dan aku melangkah mendekatinya.

 

"Baim, kamu gak usah bohong. Aku sudah tahu."

 

Baim menaikkan alis satunya, "Tahu apa?"

 

Aku mematung tidak sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya. "Baim, aku ...."

 

Aku belum selesai mengatakannya dan Baim menyelaku, " Apakah kau akan bilang pada polisi supaya ayahku ditangkap?"

 

Mataku membulat menatapnya heran. Apa maksudnya? Mengapa dia sampai berpikir begitu?

 

"Dengar Angga, ini masalah keluargaku! Jadi, kuharap kau tidak ikut campur."

 

Aku menelan ludahku yang pahit dan tidak mampu membantahnya. Dasar Baim, memang keras kepala.

 

***

 

Senja membelayung indah di cakrawala. Selarik cahaya kemerahan menghiasi langit kota. Sahutan para ibu memanggil anaknya pulang. Motor dan mobil yang saling berdempetan memenuhi jalan. Menyusuri arah kembali ke tempat tinggal mereka. Para pekerja yang melepas lelah di warung pinggir jalan. Para pedagang yang membuka tenda mencari rezeki di waktu malam. Seragam pelajar yang mengisi sudut keramaian dengan sepeda atau motor mereka.

 

Aku melangkahkan kakiku ke sebuah rumah sederhana di dekat masjid rumahku. Ditemani dengan Chilla yang berada di sisiku saat ini. Aku memutuskan untuk memberitahu ustadz TPA kami - Ustadz Ramdan - mengenai ayah Baim. Tidak peduli Baim setuju atau tidak. Kami melakukannya tanpa diketahui ia sedikit pun. Lagipula ini demi kebaikan Baim. Siapa tahu Ustadz Ramdan bisa menolong Baim dari kesulitannya?

 

"Assalamualaikum," sapaku pelan.

 

"Waalaikumsalam." Tampak seorang pemuda tampan berdiri di depan pintu. Tersenyum ke arahku dan Chilla. Garis wajahnya tegas dan alisnya tebal menyatu. Meskipun begitu, aura yang terpancar dari wajahnya sangat teduh dan menenangkan. Membuat siapapun yang memandangnya pasti tersenyum.

 

"Maaf ustadz, kalau kedatangan kami mengganggu," ujarku sopan.

 

Lihat selengkapnya