Hujan Pythagoras

Nurul Wulan Rahmawati
Chapter #9

Bagian 9 Sebuah Tekad

Menurutmu arti kesuksesan itu apa?

 

Ketika apa yang kau harapkan dan impikan selama ini itu terwujud?

 

Ketika kau berhasil memenangkan suatu kejuaraan atau lomba dan mendapatkan hadiah?

 

Atau kau telah menjadi orang terkenal dielu-elukan banyak orang dan banyak orang mengagumimu?

 

Mungkin sebagian banyak orang menafsirkan kesuksesan begitu. Tetapi, mari kita belajar arti kesuksesan dari seorang anak yang lagi menuju fase remajanya. Mencari arti sebuah kesuksesan yang sejati dari selama ini yang ditampilkan oleh media.

 

***

 

Sudah 2 tahun lamanya semenjak kejadian ayah Baim tidak ada lagi masalah yang berarti. Semuanya berjalan baik-baik saja. Apalagi akhir-akhir ini banyak sekali lomba dan berbagai olimpiade yang aku ikuti. Untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang selanjutnya mendapatkan berbagai piagam dapat memudahkanku masuk ke smp favorit. Meski aku tahu peringkat 1 di angkatan masih kupegang.

 

"Selamat ya Angga! Kau berhasil menang lomba pidato tingkat kabupaten," ujar salah satu cewek teman sekelasku. Aku tersenyum menatapnya dan mengangguk seolah mengucapkan terimakasih. Entah mengapa ia masih berdiri di depanku. Menunduk malu-malu menyembunyikan kedua tangannya di belakang.

 

Aku mengernyitkan kening tidak mengerti dengan sikapnya. "Kenapa?"

 

"Um ... aku ingin memberikan ini." Cewek itu menyodorkan sebuah coklat berpita merah di tangan kanannya. Aku tertegun dan hanya menatap coklat itu. Tidak bergeming sedikitpun.

 

"Apakah kau tidak suka?"

 

"Bukan begitu apa maksudnya kau memberiku coklat?"

 

Dia gugup kelopak matanya bergetar dan menarik kembali coklatnya. "Sebagai ucapan selamat tidak boleh, kah?"

 

Aku menyilangkan kedua lenganku dan berkata, "Baiklah taruh saja di situ."

 

Cewek itu tersipu dan meletakkan coklat itu di mejaku. Ia mundur ke belakang dan keluar kelas. Aku dapat melihat teman-temannya yang sudah menunggu di luar berteriak sambil melompat. Aku menggelengkan kepalaku dan tidak habis pikir dengan sikap mereka.

 

Akhir-akhir ini, tidak hanya berhasil memenangkan berbagai lomba melainkan juga bertambahnya fansku dari kelas lain. Padahal aku tidak ada niat mencari perhatian mereka. Aku bahkan terlalu fokus mengerjakan tugasku dan berlatih untuk persiapan lomba. Kenyataannya banyak sekali cewek yang bertanya padaku, mengajakku ngobrol hal yang tidak penting, dan terkadang juga memberiku hadiah.

 

"Wah, ini dia artis sekolah kita!" sahut cowok berseragam tidak rapi duduk di depan mejaku. Aku menurunkan pulpen yang tengah kupakai.

 

"Ayolah, Girey! Gak usah berlebihan. Kau mengacaukan konsentrasiku." Lawan bicaraku malah tertawa terbahak-bahak.

 

"Aku tidak sepertimu. Cukup menang lomba dan semua cewek tunduk padamu. Sayangnya tidak ada satu pun yang kau jadikan pacar."

 

Aku mengetukkan tanganku pada meja. Mengangkat sudut bibirku dan melirik Chilla yang tengah duduk di meja kiriku. "Kau paham Girey."

 

"Ah ... seleramu rendah." ia berlalu meninggalkanku kecewa.

 

Aku bangkit dari kursi melangkah di samping Chilla. Lantas mengambil tempat di sisinya. Aku menangkap ia tengah menggambar sebuah pohon dan orang di bawahnya.

Lihat selengkapnya