Hawa panas menjalar di dinding dan aspal jalan. Kesibukan memenuhi di area pertokoan. Beberapa menawarkan dagangan mereka, beberapa sibuk di toko sambil menonton tv juga meminum teh abai terhadap hilir mudik. Tidak terlalu khawatir jika dagangannya tidak diminati pembeli. Etalase kaca yang memajang berbagai pernak-pernik dan perhiasan memanjakan mata. Ada juga beberapa barang yang dijual di luar toko, hanya dengan meja panjang dan digantung di bangunan. Namun, kebanyakan pembeli lebih tertarik yang menawarkan diskon besar-besaran dan tertata lebih baik di dalam ruangan.
Aku dan Baim menemani Chilla sepulang sekolah membeli perlengkapan lukisnya berupa kanvas dan tinta. Sekalian Chilla ingin membujuk Baim agar mau mengikuti lomba MTQ (Musabaqah Tilawah Al Qur'an) mewakili sekolahnya. Chilla terlihat asyik memilih alat lukis berbagai jenis. Tinta air yang berwarna-warni disesuaikan dengan kantongnya tentunya.
Aku tahu Baim itu sangat sibuk alias selalu mencari kesibukan yang membuat kita jarang berkumpul akhir-akhir ini. Baim terlalu fokus sama Al Qur'annya belajar bersama Ustadz Ramdan. Kadangkala ia mengajakku ikut belajar tahsin bersama. Namun, aku menolak mengingat ada banyak lomba yang harus kusiapkan. Aku tidak ingin bukan mengecewakan sekolahku terutama ayahku satu-satunya yang masih kuharapkan. Jika bukan karena bujukan Chilla siang ini, mungkin ia sudah tenggelam dengan Al Qur'annya bersama Ustadz Ramdan.
"Apakah kau sudah pilih Chilla?" tanyaku yang melihatnya masih bingung mondar-mandir.
"Belum," tukasnya. Aku dan Baim hanya bisa menghela napas pendek. Tidak ingin membuatnya marah dengan memaksanya terburu-buru.
"Baim, aku akan membuat lukisan untukmu," ujar Chilla kemudian.
Aku dan Baim terheran menatap Chilla bengong. "Kamu ingin melukisku?"
"Bukan aku tidak bisa kalau itu. Aku akan membuat kaligrafi untuk namamu," pungkasnya.
Aku dan Baim saling berpandangan. Mencari jawaban dari perkataan Chilla.
"Tapi, aku juga mau kamu melakukan satu hal untukku. Kamu kan sahabatku. Membuat saudara muslimnya bahagia kan sebuah kewajiban," kata Chilla seraya mengedipkan salah satu matanya.
"Siapa yang bilang begitu?"
Chilla tertawa melihat tampang Baim yang tidak terima dengan perkataannya. "Kamu lupa, ya. Kan kamu yang bilang."
Baim hanya diam mendengus sebal. Tidak mampu membantah Chilla. "Kamu mau apa Chilla?"
Chilla mendekat ke arah Baim. Menggenggam tangan kanan Baim dengan kedua telapak tangannya yang kecil. "Aku mau kamu ikut lomba MTQ Baim untukku."