Hujan Pythagoras

Nurul Wulan Rahmawati
Chapter #11

Bagian 11 Hakikat

 

Cahaya di dalam cahaya. Cahaya berlapis cahaya. Tidak ada kehidupan tanpa cahaya. Tidak ada yang mampu bernapas tanpa cahaya. Cahaya adalah hakikat kehidupan itu sendiri.

 

"Allah Sang Pemberi Cahaya Langit dan Bumi. Perumpamaan Cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu." (Nur : 35)

 

Dengungan dzikir yang menyerbak di bibir Baim saat melantunkan surat Nur. Keindahan tilawahnya menyuburkan hati memekarkan bibit-bibit cinta. Memukau para juri hingga meneteskan air mata. Seakan cahaya memancar darinya ke seluruh penjuru angkasa. Berpendar di kaca-kaca jendela dan langit-langit gedung. Tilawahnya menggema menggetarkan hati dan jiwa.

 

Meski Baim mendapatkan urutan terakhir dan peserta sebelumnya tidak jauh kalah hebat. Namun, tilawahnya Baim yang lebih membekas di hati dan menyentuh relung-relung jiwa. Membuat siapapun yang mendengarnya makin jatuh cinta pada Sang Pencipta. Makin merindukan pertemuan dengan Sang Pemilik Jiwa. Makin mengingatkan diri kita akan kehinaan diri kita di hadapan-Nya.

 

Suatu waktu aku pernah menanyakan Baim alasan dia tidak mau mengikuti lomba dan menampilkan dirinya pada dunia. Baim hanya tersenyum kepadaku dan malah balik bertanya, "Angga, menurutmu arti kesuksesan itu apa?"

 

Aku mengurut dahiku dengan jemariku dan tidak paham akan maksudnya. "Hei, Baim! Aku bertanya padamu kenapa kamu malah balik menanyaiku?" tukasku heran.

 

Baim tertawa pelan dan berujar, "Ayolah, jawab saja!"

 

Aku merenung seraya memandang langit biru yang luas terbentang di hadapanku. "Um ... Kesuksesan itu ketika aku berhasil mewujudkan impianku. Menjadi orang yang hebat dan terkenal. Dan dikagumi banyak orang."

 

Baim hanya manggut-manggut mendengar jawaban yang kuberikan. "Hanya itu saja ...."

 

Aku melirik ke arahnya dengan pandangan sinis. "Hei, itu saja sudah cukup. Memang apa lagi?"

 

"Apakah jika kau berhasil memenangkan suatu olimpiade atau lomba itu juga termasuk kesuksesan?"

 

"Ya, tentu saja. Bayangkan kau berhasil memenangkan suatu lomba itu berarti kau telah mengalahkan ribuan orang di luar sana. Itu kan termasuk kesuksesan juga. Tidak semua orang bisa melakukannya."

 

Baim tersenyum tipis dan bangkit dari duduknya. Ia mengangkat tangan kanannya seolah berusaha menggapai langit. "Bagiku kesuksesan tidak seperti yang kau pikirkan, Angga."

Lihat selengkapnya