Hujan Pythagoras

Nurul Wulan Rahmawati
Chapter #12

Bagian 12 Penasaran

Selepas acara lomba itu, kami mampir di masjid terdekat untuk menunaikan sholat dhuhur. Baim menumpahkan rasa syukurnya pada Sang Pencipta. Dapat kulihat ia dzikir begitu lama selesai mengimami kami. Kemudian, kami pulang bersama dengan naik angkot.

 

"Baim, betulkan kataku kalau kesuksesan itu seperti yang kamu rasakan saat ini?" celetukku padanya.

 

Baim tersenyum seraya menatap piagam dan piala yang ia pegang. "Tidak. Definisiku masih sama, Angga. Tidak berubah."

 

Aku memicingkan mataku dan mendengus sebal. Baim memang keras kepala dari dulu. Ia tidak mau mengaku kalah dan membenarkan perkataanku juga.

 

"Angga, bukan berarti jalan yang kau maksud salah. Kamu telah mengikuti jalan yang benar, Angga. Karena selama ini kau mengikuti lomba untuk membuat ayahmu bangga dan Rabbmu makin ridho padamu. Tapi, aku telah salah jalan, Angga. Aku tidak yakin mengikuti lomba ini untuk apa."

 

Aku terheran mendengar perkataannya. "Lha, selama ini kamu tidak tahu mengikuti lomba buat apa. Emang kamu gak ada niatan melakukannya untuk ibumu atau mungkin ayahmu meski ayahmu gak suka. Atau setidaknya untuk Rabbmu lah, Baim."

 

Baim terdiam. Ia tidak merespon apa-apa percakapanku tadi. Ia hanya membolak-balikkan piagamnya seakan mencari sesuatu yang hilang. Sedetik kemudian, ia memandang ke arah Chilla yang tengah mengobrol asik dengan ibunya. Aku tertegun dan ikut memandang Chilla.

 

Aku dapat melihat senyum manisnya Chilla mekar hari ini. Ia seperti mawar yang semerbak, memikat siapa pun yang melihatnya, menggoda siapa pun ingin berada di dekatnya. Apalagi memandang bola matanya yang keemasan bagai bintang kecil yang terbit dengan kelap-kelipnya yang menggemaskan. Bagai bunga matahari yang melambai-lambai anggun dengan penuh pesona. Ah, Chilla. Untuk siapakah senyummu manismu itu yang memikat? Menawan seluruh hati terperangkap dalam keindahanmu.

 

Untuk siapakah Chilla kebahagiaan yang kamu hadirkan hari ini? Dengan tingkah lakumu yang lucu dan penuh semangat bagai kelinci kecil yang dengan girangnya berlari-lari di taman bunga. Telinganya yang bergoyang-goyang. Bola matanya yang besar dan amat mengagumkan. Untuk siapakah Chilla? Seandainya, aku tahu.

 

"Angga, sepertinya aku sudah salah jalan."

Lihat selengkapnya