بسم الله الرحمن الرحيم
Senyuman. Seperti obat ajaib bagi hati. Entah ia datang dari orang yang kita kenal ataupun dari orang asing. Senyuman. Aku tak pernah mengenalnya dengan begitu indah kecuali 13 tahun lalu. Ketika aku sadar begitu banyak senyuman yang ditampilkan orang sekarang ini. Namun, kenapa bagiku semuanya seakan palsu? Aku tak begitu mengerti arti senyuman yang begitu indah dan tulus kecuali yang hanya datang darinya.
Kedua sahabat terbaikku.
***
"Angga, cepetan! Keburu iqomat!" Seruan kesal anak cowok yang sedang menunggu sahabatnya di depan pintu gerbang.
"Iya.. iya.. Sabar napa. Gak usah buru-buru," Jawabku santai seraya memakai sarung dan menggulungnya ke bawah pinggang.
"Ah.. lama. Aku duluan," katanya pergi meninggalkanku yang masih berusaha membenarkan sarung dan memakai sandal. Ya begitulah Baim. Ia tidak suka kalau shalatnya telat apalagi tidak mendapat shalat sunnah rawatib. Beda denganku.
"Ya.. Baim." Seharusnya aku sadar Baim tidak suka selalu menungguku setiap hari. Meski terkadang ia bosan melihat sikapku yang tidak berubah. Selalu saja telat dan lama. Tapi, ia masih senantiasa menungguku. Walau pada akhirnya aku ditinggal juga.
Suasana shalat ashar yang sangat syahdu sore itu. Menyambut belaian sang mentari yang menguap kelelahan siap beranjak ke pembaringannya. Menyapa bumi yang tengah berduka akan kedzaliman manusia yang terjadi di atasnya. Mentari tersenyum menghangatkan dan berkata, "Tak perlu khawatir aku besok akan datang lagi." Mungkin belum saatnya waktu habis untuk memulai pengadilan manusia. Masih ada kesempatan. Masih ada kesempatan yang selalu ingin berubah menjadi lebih baik.
Setelah, sholat ashar selesai aku segera beranjak keluar masjid. Namun, mendadak ada yang memegang kakiku dan menarik lenganku untuk duduk kembali.
"Dzikir dulu!" Lirihnya pelan di sampingku. Aku hanya menurut kesal, mendecak lidahku.
Sore semakin beranjak hingga kegelapan malam mulai menyelimuti kota. Angin dingin berhembus menyentuh kulit. Meskipun di dalam rumah aku mampu merasakan hawa dinginnya yang menusuk pori-poriku.
Hari pertama di bulan desember, pantas saja musim hujan tak berhenti-henti. Lihat, awan mendung sudah mulai berarak di langit siap menumpahkan muatannya. Kilat mulai menyambar dengan ganas bagai mata kail pancing mencari umpan. Suara guntur terdengar merambah di kota-kota. Hujan deras pun turun tanpa ditunggu-tunggu.
"Ayo, Tuan Muda! Hari mulai malam. Sebaiknya, Tuan Muda segera tidur. Bukannya besok masuk sekolah?" Salah seorang pembantuku yang muncul dari dapur menyentuh pundakku lembut. Membuyarkan lamunanku di depan jendela ruang tamu. Mengajakku meski aku merasa belum ngantuk.
"Bi, gak usah panggil aku Tuan Muda lagi. Panggil aku Angga saja. Aku malu kalau temen-temenku tahu."
"Tapi, nanti Nyonya Besar marah?" Wajahnya lelah Bibi berkerut seakan tidak setuju dengan permintaanku.