Hujan Pythagoras

Nurul Wulan Rahmawati
Chapter #4

Bagian 4 Mengapa?

***

Mungkin kau benar, aku tidak pernah merasakan senyuman yang begitu hangat kecuali kedua sahabat terbaikku. Meskipun begitu, aku selalu menghargai pertemanan walaupun hatiku masih belum terbuka untuknya.

"Deni, kapan kamu ngajak aku ke rumahmu?"

"Buat apa?"

"Buat apa? Buat kenalan sama keluargamu, lah."

Deni terdiam. Dia temanku yang sudah kuanggap saudaraku sendiri. Mengingat aku anak tunggal, pasti tahulah rasanya kesepian. Sejatinya, aku bukan tipe orang yang mudah berteman. Bukan karena aku belum menemukan yang cocok atau karena aku masih terjebak dengan masa lalu. Walau sebenarnya itu sepenuhnya benar. Tapi, karena..

"Iya deh, kapan-kapan."

"Ha, kapan-kapan? Kapan-kapan itu kapan, Den. Ya udah, besok pagi aku akan ke rumahmu. Nanti bilang keluargamu ya oke."

Deni terperangah. Ia tidak menyangka dengan pernyataanku yang tiba-tiba ingin pergi ke rumahnya besok. Dan belum sempat ia menolak. Aku sudah pergi meninggalkannya.

Mentari bersinar terik hari ini. Tepat di atas kepala, cahayanya berlayar menembus kaca-kaca. 1 jam lagi aku akan sampai di lokasi syutingku. Filmku yang terbaru bulan ini. Aku mendapat kontrak setelah acara pertunjukanku.

Mobil dan motor berlalu-lalang melewati kami. Kepadatan kota Jakarta yang merayap sampai puncaknya. Udara yang panas masih terasa masuk ke dalam mobilku. Padahal ini mobil keluaran terbaru. Tentu saja acnya bukan bualan semata, pasti dingin menyejukkan.

Entahlah apakah hari ini yang memang begitu panas ataukah hatiku? Aku masih ingat ekspresi Deni ketika aku bilang ingin ke rumahnya. Selama ini ia tidak pernah mau aku ke rumahnya, entah apa alasannya. Aku sih tidak masalah kalau rumahnya kurang bagus. Tapi, aku yakin bukan karena itu.

Akhir-akhir ini aku merasa Deni agak berbeda tidak seperti biasanya. Atau itu cuma perasaanku saja. Meskipun begitu, hatiku tidak bisa berbohong ada yang salah dengan dirinya.

"Den, apa yang kau sembunyikan dariku? Bukankah selama ini kau hanya berpura-pura? Berpura-pura bahagia menjadi temanku. Aku dapat melihat senyum sedihmu itu."

***

Deni aku berjumpa dengannya 3 tahun lalu saat aku tengah menghadiri acara peluncuran album pertamaku di sebuah mall besar di kota Jakarta. Walaupun itu debut pertamaku aku tidak menyangka bakal ada sebanyak itu yang datang dan membeli albumku.

Selepas acara, aku berniat pergi ke salah satu cafe yang sangat terkenal di mall itu. Siapa sangka penyanyi cafenya menyanyikan laguku saat aku berada disitu. Mungkin ia tidak sadar aku berada disana. Aku menyimak suaranya yang lumayan bagus juga dan pembawaannya yang tenang dan cukup memuaskan. Kemudian, setelah ia bernyanyi dan siap pergi ke restoran berikutnya untuk mengisi pertunjukan. Aku datang menghampirinya,

"Hai, tadi aku melihat pertunjukan musikmu. Suaramu bagus juga. Permainan gitarmu juga keren. Sangat disayangkan kalau kamu cuma menyanyi di cafe kecil seperti ini. Pasti penghasilannya cuman seberapa." Kataku sambil membawakannya sebotol aqua. "Ini untukmu."

"Oh, iya terimakasih." Balasnya tersenyum padaku. Ia meminum air itu beberapa tegukan dan menoleh kepadaku.

"Memangnya kenapa kalau penghasilanku kecil? Aku tahu kamu artis terkenal itu kan yang baru saja meluncurkan album pertamanya di mall ini. Tapi, maaf aku tidak tertarik untuk membelinya. Dan untuk botol aquanya aku hargai itu." Jawabnya sambil mengangkat gitarnya dan mengajak temannya bersiap pergi dari cafe itu. Mungkin ia sedikit tersinggung dengan komentarku tadi soal pekerjaannya. Ia berjalan pergi meninggalkanku. Saat itu pengunjung cafe lagi disterilkan dan hanya ada kruku dan beberapa panitia penyelanggara acara debutku. Dan sebelum ia melangkah pergi meninggalkan cafe itu, aku berseru padanya, "Aku ingin mengajakmu duet bersamaku untuk singleku yang terbaru."

Seketika ia menghentikan langkahnya begitu juga dengan temannya. Terkejut mendengarnya. Sontak mereka semua berbalik kebelakang menatapku tidak percaya. Mendadak seluruh kruku ikut terkejut mencoba berpikir kembali mendengar perkataanku. Managerku terbatuk-batuk saat mendengar pernyataanku memandangku heran.

"Aku tidak bercanda. Aku beneran ingin berduet denganmu, Deni. Bukankah itu namamu?"

Mulai sejak itu, aku sering bernyanyi bersamanya. Membuat video klip bersama. Terkadang juga ia mendapat kontrak tv lain untuk manggung tanpaku. Bahkan ada studio musik yang siap mengambilnya untuk menjadikannya musisi papan atas. Aku ikut senang mendengarnya. Kami berjuang di industri musik bersama. Suatu saat aku mendapat kontrak untuk syuting film terkenal dan menjadi peran utamanya. Sejak saat itu juga namaku mulai melambung tinggi. Mulai dari akting di berbagai film, diundang di berbagai talkshow terkenal dan manggung di beberapa acara musik di tv atau pertunjukan besar. Karierku menanjak naik tidak terduga, aku pun sendiri tidak pernah mengiranya.

Lihat selengkapnya