Hujan hanya tinggal menyisakan rintik-rintik yang romantik. Ditempa remang lampu jalan aku melihat rintik hujan seperti salju. Sudah hampir maghrib, seperti biasa aku selalu enggan menutup toko dengan cepat, kadang aku menutupnya mendekati jam 10 malam.
Entah mengapa, aku selalu betah tenggelam berlama-lama di toko buku milikku, padahal meski termasuk daerah ramai, toko buku ini sendiri cenderung sepi. Toko buku milikku terletak diantara stasiun KRL dan pasar tradisional, aktifitas manusia disini seolah tak berhenti 24 jam.
Aku sering berdiam di toko dan jarang pulang ke rumah. Mama selalu datang ke toko mengantarkan makanan, ia tak pernah lama, selesai mengantar makanan ia akan membantu membersihkan toko, menyapu atau mencuci gelas berserakan, selepas itu ia akan pulang dan kembali tenggelam dengan televisinya.
Mama adalah perempuan diatas 50 tahun yang gesit, ia mengerjakan banyak pekerjaan rumah, rajin bepergian kesana kemari, bercengkerama dengan tetangga atau menyambangi para saudara. Ia sosok pembosan, tak bisa diam, penyayang sekaligus seorang pemberang. Tiga sifat yang kupikir diwariskannya padaku dalam bentuk laki-laki, tetapi sikap pemberang Mama jarang ditujukan padaku, sikap pemberangnya kerap dikalahkan rasa sayang yang teramat besar, kami sering berbantah namun ia kerap mengalah.
Kami memang kadang bertengkar, biasanya dipicu kebiasaannya bepergian tanpa memberi tahu lebih dulu. Aku ingin dia lebih banyak dirumah, kebiasaannya bepergian kerap membuatku kesal, gelisah karena mengkhawatirkan kesehatannya. Ketika kami saling marah, ia tetap melakukan tugasnya sebagai ibu yang baik, ia tetap menyuguhkan teh atau kopi. Jika sudah begitu marahku hilang dan kami berbaikan kembali.
Jarak rumah tinggal dan toko buku milikku hanya sekitar 300 meter saja, tapi aku lebih sering memilih tidur dalam toko buku berukuran tak begitu besar ini, ya, memang tak begitu besar tapi bisa menampung 12 rak berbagai ukuran, lima berukuran besar, tujuh berukuran sedang, semua terbuat dari kayu.