Stadebar, toko buku milikku, secara fisik belum genap setahun berdiri, namun toko buku ini sebenarnya terbentuk daring sejak tiga tahun silam. Aku merintisnya dari bawah betul, tanpa modal sama sekali. Buku-buku itu aku kumpulkan satu persatu dari hasil penjualan buku di kios buku milik orang lain.
Dulu, aku mengenal seorang kawan yang memiliki beberapa kios buku bekas, aku meminta izin padanya untuk memasarkan buku-buku tertentu yang ada di beberapa kiosnya untuk di jual di internet. Jika ada buku yang terjual, keuntungannya kubelikan buku lagi. Begitu terus hingga akhirnya kemudian aku memiliki sedikit modal untuk membelinya secara langsung.
Pelahan demi pelahan buku yang kukumpulkan semakin banyak. Jika awalnya buku hanya kutumpuk begitu saja di kamar kost, beberapa bulan kemudian aku harus membuat rak yang cukup besar yang mampu menampung ratusan buku.
Buku-buku yang kujual mayoritas adalah buku bekas yang umumnya sulit dicari di pasaran atau toko-toko buku biasa. Entah mengapa, aku lebih suka menjual buku-buku lama dari pada buku baru. Aku merasa ada tantangan dan kenikmatan tersendiri ketika berburu buku-buku lama, buku-buku bekas yang notabene adalah buku yang sudah dibuang ke loakan oleh pemilik lamanya.
Tampilan buku-buku itu memang tak semulus buku baru, namun buku-buku itu kerap menyimpan sejarah dan cerita. Aku pernah melonjak bahagia, ketika suatu hari mendapat buku karya Bung Hatta yang ditanda tangani langsung olehnya. Pernah juga, selain buku, di kios buku bekas aku menemukan sebuah buku catatan seorang penulis. Buku catatan yang sudah kumal itu berisi koreksi salah satu novel yang dia tulis sendiri. Kegemaranku membaca membantuku memahami beberapa hal yang mungkin orang lain tak memahaminya. Buku catatan yang kubeli seharga Rp.10.000 itu kemudian dibeli cukup mahal oleh seorang kolektor sekaligus seorang Senator.