Hujan redha, setumpuk buku dan kisah cinta

M. Ruddy
Chapter #4

Romansa dari Kereta

“Ting..!”

 Ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk, dari kawanku, Wid, seorang Penyair. Setiap datang ke tempatku selalu saja ada sesuatu yang ditawarkannya, buku, sepatu, jaket, lukisan, sketsa, dan lain sebagainya. Aku memang kerap membelinya, bukan karena butuh atau senang dengan barang yang ditawarkan, melainkan aku tahu dia butuh uang sekedar untuk menyambung nafas sebagai seniman.

Jika tak membeli sesuatu, setiap dia pulang aku selalu berusaha memberinya sedikit uang. Diantara banyak kawan yang kukenal, kawanku satu ini mungkin adalah species kere yang abadi. Aku tak pernah menganggapnya benalu atau parasit dalam hidupku, dia kawanku, bagaimana pun Wid memiliki sejarah kedekatan tersendiri denganku. 

“Ada dirumah malam ini, Broer? Aku baru pulang dari Taman Ismail Marzuki, sedang menunggu KRL, mungkin aku mampir” Aku tersenyum membaca pesan Wid. Dia selalu memanggilku “Broer”, panggilan zaman Ali Topan, tokoh fiksi Teguh Esha yang populer tahun 70-80 an. Di zaman revolusi panggilan yang umum adalah “Bung”, panggilan-panggilan dikalangan anak muda terus berubah, "Broer" dan "Bung" sudah tak lagi trendy, sudah kadaluwarsa, sekarang panggilan yang umum dikalangan anak muda adalah “Bro", seorang teman pernah bercanda mengatakan bahwa kepanjangan "Bro' adalah Bromocorah.

“Aku di toko, datang saja” Balasku pada kawan Penyair yang usianya hampir dua kali lebih tua dari usiaku itu, usianya 45, aku 27 tahun, kami berkawan sejak aku belum memiliki toko buku ini. Usia kami beda jauh, namun entah mengapa aku bisa berkawan dengannya, mungkin karena aku juga menyukai seni dan sastra.

Sebagai penyair, meski tak dikenal luas seperti Aan Mansyur misalnya, Wid mengenal dan bergaul dengan banyak sastrawan atau seniman besar. Lelaki bertubuh kecil yang selalu memakai topi mencangking ransel kemana-mana itu, pernah juga di undang mewakili Sastrawan Indonesia di perhelatan sastra negeri Jiran, Malaysia.

Kadang, ia juga tampil membaca puisi di acara komunitas sastra di Jakarta. Setahuku, selain berkesenian, Wid tak memiliki pekerjaan lain. Aku tak tahu bagaimana cara Wid bertahan sekian lama hidup di dunia seni, negeri ini tak memberi penghargaan layak untuk seniman tak punya nama macam dia, jika berprestasi sekali pun, dalam momen tertentu paling banter negara hanya memberi piagam dan uang yang tak seberapa.

Andai Wid seorang pemusik, mungkin dia bisa mengamen di jalanan atau di kafe-kafe, atau jika dia seorang pelukis ia bisa menjual karyanya pada para penyuka lukisan, tapi seorang penyair, apa bisa ia memperlakukan puisi seperti musik atau lukisan untuk menghasilkan uang? Apakah ada Kafe-kafe yang mau rutin membayar pembacaan puisi seperti mereka membayar musisi? Aku tidak tahu, apakah negara pernah memikirkan seniman macam Wid.

Lihat selengkapnya