Tumbuh dan besar dalam lingkungan Agamis, Bapaknya seorang Diplomat yang taat kepada Allah dan Rasulullah, Ibunya seorang wanita salilah yang taat pada suami. Sejak lulus dari sekolah dasar, saat itu usianya masih sebelas tahun. Kedua orang tuanya memasukkannya ke Pondok Pesantren. Sekarang anak gadis itu telah remaja. Menyelesaikan pendidikan setara SMP dan SMA-nya di pondok yang jauh dari kehidupan perkotaan, gadis itu tidak pernah mengetahui bahwa ada kehidupan yang bebas diluar sana. Baginya kebebasan itu hanyalah milik burung Camar yang setiap saat dilihatnya dari tanah Pesantren.
Pondok pesantren itu terletak di kaki gunung, suasana pedesaan yang sangat asri, pohon-pohon yang tinggi menjulang, bunga-bunga yang bermekaran, perkebunan yang tumbuh subur menjadi pemandangan penyejuk mata. Kehidupan gadis itu hanya berkutat dengan buku-buku pelajaran, kitab-kitab, dan hafalan Hadist serta Ayat-ayat Al Qur’an. Setiap enam bulan sekali Ayah dan Ibunya berkunjung ke Pesantren. Melepas rindu dengannya. Bermalam seminggu kemudian kembali lagi ke negaranya.
Gadis ayu berlesung pipit itu bernama Aisyah Fitri. Air mukanya yang teduh bak purnama dimalam ke lima belas, senyumnya menyejukkan jiwa seperti air dari telaga Kautsar. Wajahnya memerah ketika terpapar sinar matahari. Lentik bulu mata dan alisnya yang legam memancarkan ketegasan wanita Arab. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis. Wajahnya bulat berbalut kerudung. Seluruh badannya tertutup rapat oleh kain yang melekat didirinya hanya telapak tangan dan wajah saja yang terlihat. Jemarinya tak kalah lentik dengan bulu matanya sehingga melihat jemarinya saja para lelaki sekejap bisa jatuh cinta kepada gadis blasteran Arab Melayu itu. Oh sungguh gadis itu seperti rembulan yang sedang duduk tersipu. Seperti mawar yang baru saja mekar. Siapa pun yang melihat gadis itu pasti akan jatuh hati.
Bel tanda istirahat berbunyi, para santriwati dan santriwan bersiap untuk salat Zuhur dan makan siang, jam menunjukkan pukul dua belas siang. Aisyah menyimpan buku-buku pelajarannya ke dalam laci meja kemudian berjalan menggandeng tangan Hawa sahabatnya ke kamar untuk bersiap salat Zuhur berjamaah di masjid Pesantren. Seperti biasanya, beberapa santriwan sudah menantikan rembulan redup itu di depan kelasnya. Berharap sang rembulan sudi menatap mereka, namun sayang sungguh sayang jangankan menatap, melirik pun Aisyah enggan.
"Tidak terasa yah Syah, sudah enam tahun kita belajar di pondok ini." Kata Hawa sambil memandang sekitar. Bunga-bunga bermekaran, angin lembah bertiup perlahan membuat pohon palem yang berjejer depan kelas meliuk-liuk.
"Sebentar lagi kita lulus." Lanjutnya.
"Iya, Wa. Kamu rencananya akan melanjutkan kuliah dimana?" Tanya Aisyah.