Di sepanjang perjalanan melintasi turunan perbukitan, mobil sedan berwarna silver dengan pelat B itu terus melaju. Melesat dan terkadang berbelok sedikit mengikuti jalan. Siapapun yang melihatnya tentu tahu jika seseorang dibalik kemudi masih pemula dalam menyetir. Ia gugup dan keringat dingin terus mengucur dari balik poni tanggung yang ia belah menjadi dua arus pada puncak kepala.
Kedua telapak tangannya mencengkram kemudi dengan kuat, seakan beberapa menit yang lalu ada yang merekatkannya dengan lem.
Bukan hanya jalur jalan yang belum dia kuasai sama sekali, terlebih karena tekanan dari putri bungsunya yang sejak tadi mengoceh tanpa henti di bangku sebelah. Sedangkan putra pertamanya yang biasa cerewet memerintahkan diam sang adik, kini hanya beku tanpa kata apapun di bangku belakang. Dia kesal dengan perebutan bangku depan bersama sang adik saat mereka hendak berangkat tadi.
Sementara gerumulan awan di langit telah mulai menebal. Membentuk kesatuan gelap yang sebentar lagi akan mengguyurkan rintik-rintik air. Bukan itu masalahnya, terlebih kabut yang dikhawatirkan akan semakin pekat jika tidak segera ditembus. Itulah salah satu alasan si pengemudi untuk menancap gas lebih dalam sejak menuruni perbukitan. Ia tidak ingin terjebak di sana dalam waktu yang lebih lama.
Kembali, wanita berkisar umur memasuki kepala empat itu, melirik arloji mungil cokelat muda yang melingkari pergelangan tangan kirinya, batinnya meruntuk kesal. Sudah satu jam selama perjalanan tapi mereka belum juga sampai ke tujuan. Padahal menurut map pada sebuah aplikasi yang sebelum berangkat dilihatnya, waktu tempuh itu hanya membutuhkan setengah jam. Kenapa ini sudah berlipat dua?
"Wah, ini cantik sekali. Lihat permata biru ini, cerah seperti lautan Antarktika," selidik Kia kencang. Hanya celotehannya yang sanggup memecah kebisuan di dalam mobil, seakan pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri lautan itu seperti apa, jangankan lautan kolam renang di rumah saja, dia sebut laut Antarktika. Tidak heran jika ia selalu dijuluki putri salju di rumah. Semua yang dilihatnya akan diibaratkan seperti bongkahan salju, semua yang dipegangnya bisa disulap menjadi es yang membeku. Efek samping menonton film frozen sehari sekali.
"Ibu, kalung cantik ini, apakah dulunya milik putri salju, ya?" Pertanyaan melantur yang kembali diajukannya. Namun yang ditanya masih tidak bereaksi. Membuat rasa penasaran semakin meninggi. “Ibu... jawab aku!" lanjutnya sambil menekan bahu kiri ibu secara tiba-tiba.
Sedangkan perempuan yang masih sibuk memerhatikan jalan itu hanya mendesis kencang, pertanda agar bocah perempuan berkepang dua sepinggang itu agar diam dan tidak memecahkan konsentrasinya.
Mendengar perintah begitu Kia paham betul. Dia kembali bersandar sembari mengerucutkan bibir mungilnya. Sedangkan Khassa yang sejak meninggalkan rumah, masih berulang kali menggeser tempat duduknya di bangku belakang. Batinnya kali ini tidak enak, seperti ada batu mengganjal tepat di ulu hati. Dan entah perasaan apa yang tidak dapat terdefinisikan. Di sisi lain ia bahagia ingin cepat sampai ke lokasi tujuan. Namun di sisi satunya, ia masih memikirkan ucapan sang ayah. "Tunggu besok pagi, kita akan berangkat bersama. Ibumu itu masih belum lancar menyetir, jadi jangan kalian merenggek padanya, mengerti?" Tergiang perintah sang ayah pagi tadi sambil berusaha merapikan dasinya sendiri di depan cermin sebelum berangkat kerja. Jadwalnya hari ini adalah keluar kota untuk sebuah pertemuan pekerjaan. Setidaknya itu yang bocah laki-laki itu pahami. Anggukan lemah sebagai jawaban. Tetapi sebagai seorang pria meskipun baru menginjak usia tiga belas tahun, ia tahu betul jika harus memegang janji. Tidak boleh berbohong, harus bertanggung jawab. Serta melindungi Ibu dan Kia. Sebab ayah yang terus menerus mematrikan kata-kata tadi di kepalanya.