Penghujung abad ketigabelas Masehi adalah masa perubahan besar yang terjadi di beragam penghujung dunia. Kekuasaan dan pengaruh kerajaan Sriwijaya di nusantara yang sejak dari abad ketujuh sampai kesebelas dan membentang dari seluruh Swarnadwipa, Temasik, Semenanjung Kra tempat tinggal bangsa Siam dan Melayu, Kamboja, Champa, Jawadwipa bagian Tengah dan Barat, serta Hujung Tanah, mulai kehilangan kekuatannya di abad keduabelas dan ketigabelas Masehi, terutama setelah serangan Kerajaan Chola dari Koromandel, negeri Jambudwipa bagian selatan.
Saat itu, tepatnya tahun seribu tujuhbelas dan seribu duapuluh lima Masehi, Rajendra Chola Pertama dari Wangsa Chola mengirim pasukan lautnya untuk menyerang Sriwijaya. Serangan besar itu berhasil menundukkan Sriwijaya yang saat itu diperintah oleh Raja Sangrama Wijayatunggawarman. Maka, kekuasaan Sriwijaya atas kerajaan-kerajaan kecil di bawahnya pun ikut melemah. Beberapa negeri taklukan melepaskan diri dan membentuk kerajaan baru seperti Pagaruyung dan Dharmasraya.
Sebagai berakhirnya kekuasaan Wangsa Syailendra dengan Sriwijaya atas tanah Swarnadwipa oleh serangan Kerajaan Chola, muncullah kekuasaan baru dari Wangsa Mauli yang mengaku menggantikan kekuasaan Sriwijaya. Wangsa Mauli lah yang kemudian mendirikan kerajaan Dharmasraya pada tahun seribu seratus delapan puluh tiga Masehi. Pengaruh kerajaan ini memang benar menggantikan kekuasaan kerajaan Sriwijaya paling tidak di bumi Melayu.
Kerajaan Melayu Songkhra yang terletak di antara tanah Melayu dan Siam sangat kuat dipengaruhi oleh kerajaan Sriwijaya, bahkan ketika kemaharajaan itu sudah berubah menjadi Dharmasraya. Hanya saja, sejak Kerajaan Chola berhasil menundukkan Sriwijaya, Songkhra pun menjadi bagian dari pengaruh negara Jambudwipa tersebut.
Bila Sriwijaya adalah sebuah kerajaan beragama Buddha, Chola sendiri adalah negeri beragama Siwa. Hal ini juga merupakan salah satu pengaruh terbesar Chola pada Songkhra.
“Nama besar kerajaan Melayu Sriwijaya sudah tak ada lagi. Nama itu telah tergantikan dengan Dharmasraya. Bahkan orang-orang Jawa tidak lagi mengenalnya dan menyebut Sriwijaya dengan Palembang atau Bhumi Melayu. Bahkan, bertahun-tahun sudah pasukan Jawa pimpinan Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari dari Jawadwipa menaklukkan Dharmasraya. Kerajaan Songkhra harus menggunakan kesempatan ini untuk memiliki harga diri dan martabatnya sendiri,” ujar sang raja tua yang duduk di singgasananya. Ia sudah tak tegap lagi. Hawa kepemimpinan sudah hampir luruh runtuh dari raganya. Mahkota di kepalanya, gelang dan kelat bahu yang kesemuanya dari emas, kain sutra yang diselempangkan di dadanya dan mengitari bagian bawah tubuhnya, serta terompah indah yang melingkupi kakinya tak mampu meningkatkan hawa kuasa itu lagi.
Dua orang pemuda duduk bersila di depan sang raja.
Dama’ Bintang yang juga dikenal dengan Pangeran Sulong adalah anak sulung dari raja tua tersebut. Meski Rupanya tampan, tapi yang paling menonjol dari dirinya dalah garis-garis kelelakian seperti keberanian, kuasa dan ketangguhan yang jelas tercetak di wajahnya. Sepasang alisnya terbentuk indah, seimbang di kanan dan kirinya melindungi dua buah mata yang memandang tajam. Usia pemuda ini delapan belas tahun, usia yang sudah dianggap sangat matang di masa itu.