Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #2

Gemerincing

Entah bagaimana cara semesta membagi dua kakak beradik ini tepat di tengah. Dama’ Bintang sang Pangeran Sulong selalu panas berkedap-kedip bagai sepotong bara yang bila terkena angin akan tersulut apinya. Ia begitu dekat dengan kemarahan dan kekuasaan. Tubuh uletnya dibentuk dari pertempuran. Kulitnya bergesek dengan tubuh musuh bahkan kerap dengan bilah tajam pedang atau ujung runcing mata tombak. Telapaknya kapalan oleh gagang keris. Ilmu yang ia pelajari dan amalkan adalah tenaga dalam dan kekebalan. Hanya darah yang dapat membuatnya puas sehingga puja-puja pada Dewa Syiwa adalah permohonan kemenangan dan penaklukkan mutlak.

Dama’ Bulan sang Pangeran Muda, selalu berpikir tentang bagaimana cara manusia berjalan bersama, bergandengan tangan, bukannya bertikaman. Ia membuka pikirannya pada jagad serta menyeberanginya. Latihan silat di dalam benteng istana adalah untuk mendukung raganya agar selaras dengan batin. Ia lebih senang bersemedi, berbicara pada roh alam serta tenggelam dalam doa dan puja puji pada sang Mahadewa demi ketentraman kerajaan dan kedamaian jiwa. Tidak hanya untuk manusia, tapi seluruh mahluk yang merupakan ciptaan-Nya.

Sang Raja Tua tidak pernah berpikir untuk memilih siapa anak laki-laki kegemarannya. Pangeran Sulong adalah lelaki sejati yang kuat, tegas dan berani. Seorang raja tentu membutuhkan segala sifat itu. Tapi ia gegabah, ceroboh dan selalu bernafsu. Sang Raja Tua tak tahan dengan pemikiran anak sulungnya yang selalu terbawa keinginan liarnya itu. Di sisi lain, Pangeran Muda, meski belum lama menjadi laki-laki dewasa, sudah berusaha menunjukkan pemikiran dan keputusan bijaknya. Anak laki-laki keduanya itu sabar, penuh welas asih serta taat kepada agama. Namun sebaliknya, Dama’ Bulan dianggap sang ayahanda masih kurang tangguh, dimana itu pula adalah syarat utama menjadi seorang pemimpin.

Keterlibatan negara Chola dalam urusan Songkhra tidak benar-benar salah. Bagaimanapun pengaruh kerajaan dari Jambudwipa itu sudah lama dirasakan oleh Songkhra terutama ketika seratusan tahun yang lalu kerajaan Melayu Sriwijaya runtuh. Tapi, menurut Dama’ Bulan, rakyat lah yang berhak memutuskan bagaimana negeri ini ditata. Raja sebagai seorang pemimpin hanyalah wakil dari suara Yang Kuasa dimana, suara rakyat adalah pula suara Yang Kuasa.

Lapisan mata abu-abu sang Raja Tua yang sudah semakin mengabur pandangannya menerawang menembus ruang dan waktu. Ia beberapa saat yang lalu sudah memutuskan untuk membagi kerajaan Songkhra menjadi dua. Masing-masing dipimpin oleh kedua anaknya. Mungkin itu adalah keputusan terbijak yang bisa ia lakukan sebelum nyawanya meninggakan raga.

Pangeran Sulong memang memiliki hak atas kerajaan. Hak itu mutlak adanya. Ia sebagai seorang ayah dan raja yang masih berkuasa, harus mengikuti aturan, kebiasaan, budaya dan hukum kerajaan. Oleh sebab itu, ia memberikan hak kepada sang putra pangeran, anak laki-laki pertama. Tapi, ia masih bernafas, dan ia masih pula raja yang berkuasa. Memberikan kekuasaan seperti tanah perdikan atau hadiah kepada siapapun yang ia pikir pantas, jugalah haknya. Memberikan separuh kerajaan kepada anak keduanya, sama sekali tidak melanggar aturan dan hukum yang berlaku. Kecuali ia menurunkan hak kekuasaan sepenuhnya kepada Pangeran Muda, bukannya Pangeran Sulong. Maka itu adalah dosa seorang raja.

Api yang membara di dalam tubuh Dama’ Bintang sang Pangeran Sulong sudah terlanjur terbakar ketika mendengar keputusan ini.

Lihat selengkapnya