Benteng batu bobol ditembus pasukan Dama’ Bintang yang datang menderu bagai ombak. Tombak di tangan para prajurit Melayu dilemparkan menjadi lembing, menembus dada dan leher prajurit yang langsung meregang nyawa. Bunyi pedang dicabut keluar dari sarungnya menyusul bersamaan dengan terjangan para penyerang tak mengindahkan lagi sisi kemanusiaan. Mereka berubah menjadi binatang. Menubruk tameng lawang dengan tameng mereka, membacok dengan geram dan penuh murka.
Sisi tajam pedang mengoyak kulit, membelah daging. Ketika bertumbuk dengan besi lain, percikan api memantik di malam buta. Pedang sompal dan rompal, namun sabetan dan tusukan tetap mematikan. Daging lawan tak lagi terbelah bersih, melainkan acakadul berantakan. Darah muncrat dari luka yang amburadul karena bilah tajam pedang yang rombeng.
Pasukan Chola yang tiga puluh itu hadir bersama sisa prajurit Melayu lainnya untuk menyelesaikan serangan pertama. Dengan mudahnya mereka menusukkan tombak dari jarak jauh, memanen nyawa pasukan kerajaan Dama’ Bulan di luar benteng.
Darah melukis tembok benteng, berceceran di tanah dan terus bertambah banyak bagai lautan ketika pasukan Dama’ Bintang menyeruak masuk ke wilayah kerajaan.
Untuk memastikan pedang-pedang mereka masih tajam, para prajurit mencobakannya kepada rakyat tanpa senjata yang berlarian ketakutan. Mereka dengan ganas menyerbu siapa saja yang lewat di hadapan. Bila tak puas dengan hasilnya menebas lengan, mereka akan menetakkannya sampai benar-benar putus. Jeritan warga yang sekarat itu kemudian didiamkan selamanya oleh tusukan tombak prajurit Chola dan Melayu lainnya.
Jiwa haus darah sudah menggembung di dalam dada para prajurit ini. Perlawanan prajurit Melayu dari pihak Dama’ Bulan bukan tidak sama hebatnya. Ketika rombongan prajurit dari wilayah istana sampai di garis depan dan menyaksikan pembataian atas warga, darah mereka pun menggelegak. Balasan lemparan lembing menembus satu dua mata dan leher pasukan Chola dan membunuh lebih banyak pasukan Melayu.
Pedang mulai patah akibat benturan demi benturan. Kini keris dan belati dicabut dari warangkanya. Tusukan-tusukan menggila dilancarkan saling balas. Satu tusukan dirasa belum membunuh, maka tusukan terus dilancarkan dengan membabi buta. Tak jarang, kedua petarung dan prajurit yang bertempur mati bersama.
Perlawanan sengit dari prajurit Dama’ Bulan ternyata tidak main-main. Jumlah mereka yang nyatanya lebih banyak itu menahan sapuan pasukan Dama’ Bintang dengan tangkas. Darah kedua belah pihak menggenang di tanah, bahkan belum sempat meresap ke bumi karena saking tebalnya.
Pasukan Dama’ Bintang yang tadinya begitu yakin mereka akan menang dengan mudah ternyata menelan kenyataan pahit. Pasukan lawan yang mereka serang memang memiliki jumlah berkali lipat karena toh ketidakadilan pemisahan dua wilayah. Sang mendiang Raja Tua dan Empat Pembesar Utama sudah sama-sama setuju untuk memberikan lebih banyak prajurit pendukung kerajaan Dama’ Bulan dengan pertimbangan bahwa putra kedua Raja Tua itu belum memiliki pengalaman dalam perihal pertikaian, pertempuran apalagi peperangan. Sedangkan pihak Dama’ Bintang memang telah memiliki orang-orang pilihan, setia dan berpengalaman bersamanya dalam perang.