Meriam-meriam lela sedang dan kecil sudah dipersiapkan di depan istana. Meriam kecil bergaya Melayu terbuat dari tembaga yang rata-rata berukuran panjang satu depa atau lebih ini memiliki moncong yang membuka lebar dengan hiasan menyerupai bentuk mulut seekor naga yang sedang menganga. Belasan jumlahnya.
Masyarakat yang hadir di alun-alun depan istana kini sudah berbodong-bondong pergi ke dermaga untuk menyelamatkan diri, digantikan dengan para prajurit bersenjatalan tombak dan pedang, serta yang memasang lela-lela naga tersebut. Secara khusus, Dama’ Bulan sudah memerintahkan hulubalang dan prajurit-prajurit pilihannya untuk mengawal rombongan masyarakat yang hendak mengungsi ke negeri lain, serta tentu saja kerabat kerajaan yang ditempatkan di jung kerajaan.
Memang ada banyak pula masyarakat yang memilih untuk tidak meninggalkan wilayah kerajaan yang dipimpin oleh Dama’ Bulan. Mereka sadar bahwasanya bagaimanapun seorang raja memerlukan rakyat. Bila memang kerajaan Dama’ Bulan harus runtuh, mereka yakin bahwa Dama’ Bintang tidak akan semena-mena menghabisi seluruh warga. Mereka pasrah dan menerima bagaimana nasib mereka ditentukan oleh sang penyerang. Masyarakat lain yang berbondong-bondong mengungsi ke arah dermaga memang tak bisa menerima kepemimpinan Dama’ Bintang dan lebih baik mengambil akibat dari keputusan mereka untuk hijrah dari tanah Songkhra.
“Ampun Duli Tuanku, Paduka Raja. Patik mohon Duli Tuanku segera meninggalkan istana. Biarkan kami yang menghadang dan menghadapi lawan,” ujar salah satu prajurit.
Dama’ Bulan menatap wajah sang prajurit rendahan itu dengan nanar. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Di satu sisi ia tidak mau dianggap sebagai seorang pengecut, pemimpin yang tak mampu mengayomi masyarakat dan berdiri di depan mereka ketika terjadi peperangan. Namun, kedatangan permaisuri dan rombongannya menyadarkan bahwa ia memiliki tanggung jawab yang lebih. Ia harus pergi dari tempat ini dengan pengorbanan para prajurit, seperti prajurit yang berada di depannya, untuk mencapai mimpi-mimpi yang harus ia jalankan. Nyawa permaisuri, kemenakan perempuannya, masyarakat dan kerabat yang berharap banyak darinya tidak boleh ia sepelekan.
“Mereka menggunakan sihir dan nujum,” ujar Dama’ Bulan pendek. Ini membuat kening sang prajurit mengkerut. “Kita tidak akan bisa mencegah mereka memasuki istana. Tapi aku akan coba membantu memperlambat mereka,” lanjutnya.
Dama’ Bulan memandang tajam ke arah sang prajurit. “Siapa namamu?” tanyanya.
Sang prajurit langsung merasa gugup ditanyai oleh sang raja, terutama karena ia dimintai keterangan mengenai pribadinya padahal ia adalah seorang prajurit rendahan belaka. “Ampun Duli Tuanku, Paduka Raja. Patik bernama Sangkara,” ujar sang prajurit gugup.