Saat itu, Gowa masih berupa wilayah yang ditempati oleh suku Mangkasara yang mulai memimpin daerah yang ditinggali bersama suku-suku lain seperti Mandar di pesisir barat laut, Toraja di pegunungan di Utara, dan Bugis di dataran rendah dan perbukitan sebelah selatan tanah Mandar dan Toraja. Orang-orang Mangkasara dan Bugis telah lama pula menjadi salah satu dari pelaut-pelaut ulung di nusantara yang dengan berani mengarungi samudra untuk singgah di negeri lain untuk hidup dan menghadapi beragam tantangan dalam kehidupan itu sendiri. Dari Gowa lah Manok Sabong berasal.
Tubuhnya tak terlalu besar dan tak juga terlalu kecil. Meski terbilang ramping, tapi otot-otot di tubuhnya terbentuk dengan liat. Gerakannya gesit dan tak banyak bicara. Rambut panjang bergelombangnya tidak digelung atau diikat, tapi terurai di balik penutup kepala yang dibebatkan berlapis dan menumpuk tinggi. Kulitnya gelap terbakar matahari, tapi wajahnya luar biasa tampan. Ia berumur di awal dua puluh tahun yang di masa itu sudah terbilang sangat matang walau ia masih belum berbini.
Tak ada yang tahu pasti nama asli pemberian orangtuanya di Gowa sana. Yang jelas, kalung berbentuk dua ekor ayam jantan yang saling berhadapan hendak bersabung itulah yang membuatnya dinamai Manok Sabong yang sekaligus dikenakan sebagai sebuah julukan. Kesaktiannya tak perlu disangsikan lagi. Berbekal sebilah keris dengan gagang tanduk rusa, setiap gerakannya hampir tak bisa dihadapi oleh musuh macam apapun. Pengabdiannya kepada Dama’ Bintang telah membawanya ke berbagai peperangan. Sudah berapa banyak pasukan musuh yang mencoba mengganggu kedaulatan Songkhra tewas di tangannya.
Hampir selalu berdampingan pula dengannya, Singa Pati Bangi, rekan seperjuangan yang mengabdi kepada Dama’ Bintang sang Pangeran Sulong, berasal dari negeri Palembang. Daerah itu adalah salah satu pusat bekas kemaharajaan Sriwijaya yang sekarang telah menjadi negeri yang jauh lebih kecil dibanding Sriwijaya di masa lalu. Pelambang sekarang telah menjadi bagian pecahan kemaharajaan besar tersebut yang merupakan negeri bawahan dan berada di bawah pengaruh kerajaan Singhasari di Jawa sejak gempuran Pamalayu terhadap kerajaan Dharmasraya yang mengaku sebagai pengganti Kemaharajaan Melayu Sriwijaya pada tahun seribu dua ratus tujuh puluh lima sampai seribu dua ratus delapan puluh enam Masehi.
Singa Pati Bangi juga bertubuh ramping dan bisa dikatakan sebaya dengan Manok Sabong. Bedanya, ia memiliki kepribadian yang merupakan poros yang berkebalikan dengan Manok Sabong, rekan sekaligus sahabatnya itu. Singa Pati Bangi cukup banyak berbicara dan lebih terlihat ceria. Kulitnya putih bersih, hampir seperti seorang perempuan. Akan tetapi, mengenai gerak silat dan kesaktian, tidak tampak lemah gemulainya sama sekali. Ia dan Manok Sabong sama-sama berilmu tinggi, cepat dan beringas, tanpa ampun.
Kedua hulubalang ini adalah pendekar-pendekar pilih tanding yang dicomot dengan cermat oleh Pangeran Sulong di masa lalu. Pengabdian mereka di tanah Songkhra awalnya memang jatuh pada Dama’ Bintang. Kemampuan sang Pangeran Sulong dalam memimpin pasukan dan sekaligus turun langsung ke medan peperangan tentu membuat bawahannya merasa terhormat dan bangga dengan wibawa Pangeran Sulong.
Bertahun-tahun kemudian, mereka dianugerahi pangkat dan jabatan penting sebagai ganjaran atas pengabdian mereka. Kedua hulubalang atau punggawa sakti ini diberikan tugas sebagai pengawal pribadi sang permaisuri yang saat itu sedang hamil. Keistimewaan ini diberikan karena mereka diminta untuk menjaga calon jabang bayi sang raja sebagai penerus takhta bila kelak sang permaisuri melahirkan seorang laki-laki dan Songkhra diberikan secara utuh kepada Pangeran Sulong sang putra mahkota.