Semua bermula pada seorang perempuan bernama Ratna Manggali yang hidup di Daha, Kerajaan Kadiridi Jawadwipa, pada masa kekuasaan Raja Airlangga yang berkuasa pada tahun seribu enam sampai seribu empat puluh dua Masehi, dua ratus tahun sebelum Singhasari berkuasa dan masa pergolakan yang terjadi di kerajaan Songkhra.
Di tahun-tahun akhir masa kekuasaan Airlangga, desa-desa pesisir di wilayah kekuasaan kerajaan Kadiri saat itu menjadi korban angkaramurka sang ibunda dari Ratna Manggali, yaitu Dayu Datu dari Desa Girah, yang kisah dan sejarah kemudian mengenalnya sebagai Nyi Calonarang dan berjuluk Rangda Nateng Girah.
Kemarahan sang ibunda pada dasarnya dipicu oleh penghinaan yang dilakukan masyarakat desa kepada anak perempuan satu-satunya. Penghinaan demi penghinaan berupa ejekan, umpatan dan pelecehan membuat darahnya mendidih dan menggelegak. Orang-orang mencemooh Ratna Manggali karena ia adalah anak seorang penyihir, penguasa ilmu Ngiwa Leak yang sakti dan dianggap kejam dan jahat.
Nyi Calonarang tidak menampik bahwa ia dan murid-muridnya adalah penganut agama Saiwa dan Sakta beraliran Tantra Bhairawa yang melakukan beragam upacara pemujaan kepada dewa Syiwa untuk tidak hanya bertemu dan bersatu dengan sang dewa secara langsung, tetapi juga mendapatkan anugerah kekuatannya. Bukankah tingkat tertinggi dari pengamalan ajaran agama dan tujuan akhir keimanan adalah bersatu dengan para dewa?
Nyi Calonarang tersinggung karena ajaran yang dianutnya dilecehkan dengan menuduh sang putri, Ratna Manggali, adalah anak seorang penyihir. Hal ini juga dianggap merupakan cerminan tuduhan orang-orang beragama Waisnawa yang menggambarkan ajaran Syiwa-Buda Saiwa-Sakta beraliran Bhairawa sebagai penganut ilmu teluh serta sihir demi kepentingan pribadi mereka.
Bila itu yang mereka pikirkan, maka, Nyi Calonarang siap mengabulkan keinginan atas kehadiran seorang penyihir tersebut.
Pada hari Kajeng Kliwon tepat di tengah malam, dimana setiap orang telah tidur nyenyak tak berani keluar pada hari yang dikeramatkan itu, para bibi dari Ratna Manggali, yaitu para sisya atau murid-murid perempuan sang ibu, keluar dari perguruan. Mereka beterbangan, melompat ke udara dalam bentuk bola-bola dan kelebatan api serta sinar terang.
Udara di desa-desa pesisir mendadak gerah, panas membakar. Gelombang panas di udara tersebar dari lintasan lewat bola dan larik-larik api itu. Anak-anak gelisah dalam tidurnya. Bayi menangis tiba-tiba. Lolongan anjing saling bersahutan bertubrukan dengan suara kaokan goak atau burung gagak riuh rendah. Tidak peduli sedang musim kering, kodok darat berbunyi ramai, berselang-seling dengan suara tokek yang menempel di langit-langit rumah atau pepohonan.
Masyarakat terbangun dengan keganjilan dan rasa takut yang tak beralasan. Mereka mendengar suara-suara binatang yang tumpang-tindih di masa yang tak wajar ini. Mereka juga merasakan hawa panas yang menjadi-jadi. Namun tak ada dari mereka yang berani membuka pintu untuk keluar dan menggusah anjing-anjing liar, atau membuka jendela membiarkan angin sejuk masuk ke dalam rumah.