Sang raja, Prabu Airlangga, sudah mendengar kabar huru-hara ini. Laporan dan keluhan datang silih berganti melalui para pejabat kerajaan, punggawa dan bahkan langsung dari penduduk. Prabu Airlangga tentu tak mau turun dari takhta di masa-masa akhir kepemimpinannya dengan catatan cacat atas pergolakan yang terjadi di desa-desa pesisir wilayah kekuasaan kerajaan Kadirinya.
Para rombongan pemangku Desa Girah yang datang ke hadiratnya di Bale Penangkilan diberikan janji dan keputusannya. Sang Prabu tidak akan turun untuk meninjau desa-desa di pesisir yang terkena pagebluk, termasuk Desa Girah, namun sudah menabuh genderang perang terhadap kekejaman dan kejahatan Nyi Calonarang dengan memerintahkan punggawa-punggawa kerajaannya untuk memberikan hukuman bagi si dukun perempuan peleak itu dengan setimpal.
Prabu Airlangga juga memberikan pesan kepada rakyatnya untuk berdoa dan meminta perlindungan Hyang Batara Brahma, memberikan sesajen, dan menghidupkan obor sebagai penerangan di batas desa. Sang raja meminta pula agar rakyat meminta pertolongan dari para leluhur dengan bawang putih, jangu, benang tri datu, dan pipis bolong sebagai penolak leak.
Butuh waktu berhari-hari bagi sang Prabu untuk menahan amarah yang menjalar dari dada menyebar ke seantero tubuhnya. Sang pengawal istana, Ki Patih Madri, lah yang muncul untuk memberikan pencerahan dan semangat bagi sang raja. Ia pulalah yang kemudian mengemban tugas untuk menghancurkan kekuatan dan kekejaman Nyi Calonarang.
Bersama para prajurit pilihan, ratusan jumlahnya, Ki Patih Madri juga mengumpulkan semua orang-orang sakti, pendekar dan jawara. Ada banyak tokoh masyarakat lain juga yang memiliki ilmu kanuragan, ilmu kewisesan dan ilmu batin. Dalam perencanaan yang matang, semuanya berangkat ke Desa Girah, menyerang perguruan Nyi Calonarang di malam hari dengan bersenjatakan pedang, tombak, keris, sesikepan, gegemet, sesabukan atau beragam jimat yang lain, mengingat yang mereka hadapi ini bukanlah prajurit-prajurit biasa.
Tak perlu ditebak, Nyi Calonarang dan para sisya nya telah siap dengan kedatangan musuh. Mereka telah memagari Desa Girah dan perguruan Tantra Bhairawa dengan penyengker gaib sehingga tidak bisa ditembus kekuatan gaib musuh, atau paling tidak membuat lawan lemah.
Tepat tengah malam, langit yang gelap mendadak terang benderang. Seakan bintang-bintang jatuh dari angkasa dalam rupa bola-bola api, mengejutkan prajurit dan jawara Kadiri. Ini adalah sambutan Nyi Calonarang.
Kembali, kekuatan dahsyat para sisya dipamerkan. Teriakan perang dan rasa sakit terdengar ketika tubuh-tubuh terbakar oleh keganasan api ilmu leak. Tidak hanya itu, potongan-potongan tubuh terlempar berserakan ketika para sisya berubah menjadi binatang buas dan mahluk mengerikan lainnya, menyerang para prajurit tanpa bisa dilawan. Para sisya bermandi darah, berpesta pora dalam kehancuran dan kematian para musuh.
Ki Patih Madri, terciprat darah para jawara yang ia bawa, kini mundur tersudut di sebuah hutan bambu dengan sebatang keris terhunus di tangan kanannya. Selama ini ia mampu menahan serangan para sisya dan mahluk-mahluk gaib mengerikan sekaligus menjijikkan yang menyerangnya. Tapi ia belum mampu melukai apalagi membunuh satupun diantara mereka selagi ia melihat rombongan pasukan penghancur Nyi Calonarang malah sedang dibantai.