“Paduka Pamanda, Anakanda jauh-jauh datang dari kerajaan Songkhra hendak menghaturkan hormat setinggi-tingginya pada Indragiri atas nama kekerabatan yang terjalin lama sejak masa mendiang Paduka Ayahanda Raja dan nenek moyang sebelumnya,” ujar Dama’ Bintang di hadapan sang pemimpin Indragiri.
Sang pemimpin Indragiri yang sudah lebih dari setengah baya ini memeluk Dama’ Bintang dengan hangat. Pelukan itu tulus adanya, meski sang pemimpin paham masalah besar yang terjadi diantara kedua adik-beradik ini. Ia mencurahkan segara pelayanan terbaik yang bisa diberikan sama baikknya dengan apa yang ia pernah lakukan terhadap Dama’ Bulan.
“Paduka Pamanda pastilah paham dengan tujuan kedatangan Anakanda ke tanah Indragiri ini. Anakanda tidak hendak mencari masalah dengan wilayah yang memiliki sejarah panjang dengan Songkhra, termasuk juga hubungan kekerabatan kita. Namun, Anakanda harus mengambil hak sebagai seorang raja di kerajaan. Permaisuri Anakanda pergi dari kerajaan membawa serta putri Anakanda, harta kerajaan dan prajurit serta rakyat. Semua itu adalah hak Anakanda,” ujar Dama’ Bintang terlihat sekali masih berusaha sopan meski dadanya bergemuruh dengan keinginan untuk segera menemui orang-orang yang berkhianat kepada dirinya dan kerajaan.
Sang pemimpin Indragiri menghela nafas, kemudian mengangguk-angguk paham. “Patik tidak bisa ikut mencampuri urusan dalam kerajaan Anakanda. Patik disini berlaku sebagai penengah saja dan berharap yang terbaik bagi Songkhra. Perlu Paduka Anakanda pahami, bahwa Indragiri belumlah menjadi sebuah kerajaan, apalagi dengan kekuatan sebesar kerajaan yang lain. Indragiri tak akan mampu memberikan perlindungan penuh kepada Paduka Anakanda Dama’ Bulan berserta rombongan, ataupun menentang raja baru Songkhra, Paduka Anakanda Dama’ Bintang,” ujar sang pemimpin panjang lebar.
“Apa yang hendak Paduka Pamanda hendak katakan sebenarnya?” selidik Dama’ Bintang.
“Mohon ampun, Paduka Anakanda Raja. Rombongan Dama’ Bulan memutuskan untuk meninggalkan Indragiri setengah hari yang lalu menuju ke Hujung Tanah, Barunadwipa.”
“Pamanda! Mengapa tak Pamanda katakan sedari awal dan malah mengulur-ulur waktu?” seru Dama’ Bintang murka.
Tanpa memberikan hormat lagi, ia berbalik arah dan meninggalkan ruangan penyambutan itu. Di luar, Nyi Lenda sudah menatap kedatangan Dama’ Bintang dengan tajam. “Mereka sudah pergi dari tempat ini.”
“Benar, Nyi. Bangsat tua itu sengaja mengulur-ulur waktu. Kapan-kapan saja bila sudah kubereskan urusan dengan Bulan dan istriku, baru aku hancurkan tempat ini. Sekarang, kita akan mengejar kapal itu!” perintah Dama’ Bintang.