Dama’ Bulan memutuskan untuk tidak mempersulit para pemimpin dan masyarakat Indragiri lagi. Ia meninggalkan Swarnabhumi untuk pergi ke Barunadwipa yang dalam lidah Melayu dikenal dengan Hujung Tanah. Di sana, harapannya adalah untuk meminta bantuan tinggal, di bawah atap dan belas kasihan Kerajaan Tanjung Nagara. Kerajaan itu dibangun dengan sumbangsih para leluhur Songkhra. Sedangkan sebuah kerajaan lainnya, Nan Sarunai, didirikan oleh orang-orang asli Barunadwipa, yaitu masyarakat Maanyan. Jelas merupakan sebuah tantangan besar bagi rombongan ini untuk mendatangi sebuah pulau besar yang sangat baru dan asing bagi mereka.
Oleh sebab itu, dengan meminta kebijaksanaan para leluhur dan dewa-dewa, tanpa sepengetahuan Dama’ Bintang, Dama’ Bulan meninggalkan sebagai besar masyarakat Songkhra yang ikut jungnya di Indragiri. Hanya separuh rakyat dan pengikut setia dan masih kuat bepergian lah yang kini berada di atas geladak jung Dama’ Bulan menuju negeri asing itu. Nasehat Panglima Singa Elang untuk berlayar di waktu dan jalur air tertentu benar-benar diterima dan dilaksanakan oleh Dama’ Bulan. Ini karena Panglima muda Singa Elang memang berasal dari Indragiri sebelum mengabdi kepada Pangeran Muda. Ia paham benar keadaan alam dan jalur pelayaran dari dan ke pantai Indragiri.
Keputusan Dama’ Bulan tersebut ternyata tanpa sengaja didukung oleh nafsu Dama’ Bintang untuk mengejar adiknya. Syukurnya, hal ini dapat menyelamatkan Indragiri dan nyawa sebagian rakyat Songkhra yang ikut di jung tersebut. Dama’ Bintang beranggapan bahwa kepemimpinannya sebagai raja Songkhra paripurna dan sempurna hanya dapat dicapai bila ia berhasil menghukum adik, permaisuri dan semua pembelot serta pengkhianat yang memihak Dama’ Bulan.
Hanya saja kenyataannya Nyi Lenda belum siap. Air laut yang menghempas badan kapal menggoyangkan nyalinya. Gemerincing perhiasannya kini menunjukkan rasa takutnya pula. Bahkan bau laut dan warna langit pun berbeda. Kekuatan sihirnya masih terbatas pada wilayah tertentu. Di seberang sana, di tengah lautan, tidak sampai kapal-kapal berbenturan, maka kekuatannya tak bisa berbuat banyak. Malah mungkin Dama’ Bulan di jung yang sedang mereka kejar ini memiliki kesempatan untuk menunjukkan kekuatan batinnya pula.
Namun, tentu saja Nyi Lenda tidak mau kalah begitu saja. Sekuat tenaga ia memanggil segala mahluk dunia gaib yang masih bisa tunduk di bawah kekuasaannya yang diberikan oleh sang Durga. Peri dan jin laut dari pusaran air dan dasar terdalam terseret ke atas, merayap di lambung kayu kapal. Air laut terciprat membasahi wajah, rambut panjang dan tubuh Nyi Lendi. Tempurung cembung langit retak, memperlihatkan sulur-sulur raksasa merah darah. Alam seperti menanggapi ilmu gaib Nyi Lenda dengan menggoyangkan lautan.
Beberapa hari selepas dari pantai Indragiri, jung Dama’ Bulan mendekati perairan di wilayah pulau Temasek bernama Batu Ampar. Kekuatan ilmu batinnya mendadak seperti sebuah kulit telur yang pecah terbuka, membebaskan kemampuannya. Ia dapat merasakan beragam jenis mahluk gaib yang mengambang di udara dan lipatan ombak menyampaikan kekuatan gaib lainnya yang mengikuti mereka satu hari jauhnya.
Danum dan Datok Udak, dua orang kembar penasehat bijak yang telah berbakti sejak masa kepemimpinan Raja Tua datang menghadap ke depan Dama’ Bulan.