Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #14

Kepala

Kapal Dama’ Bulan berlabuh di perairan Batu Ampar di dekat negeri Temasek atau yang dikenal juga dengan nama Pulau Ujong. Ombak meracau menyapu badan kapal, menampar-nampar dan menggoyangkan kendaraan air dari kayu itu di permukaan air. Dama’ Bulan berdiri tegap dengan mata masih tertutup, sedangkan di belakangnya Datok Udak sudah sedari awal ikut mengangkat doa kepada para dewa dan rapalan mantra.

Hanya saja, tidak begitu yang terjadi dengan para prajurit, hulubalang atau punggawa. Mereka merasa gemas dengan tidak adanya keputusan yang jelas dari sang pemimpin. Memang awalnya mereka cemas karena dikejar-kejar oleh pasukan musuh yang jumlahnya lebih banyak dan dengan kekuatan yang lebih besar. Namun kini, tangan mereka gatal untuk meblesakkan mata tombak atau keris ke dalam tubuh prajurit musuh. Mereka telah siap pula menerima tubrukan kapal, atau peluru meriam yang menghajar geladak jung ini. Diam berjaga-jaga seperti ini sangat menyiksa bagi jiwa mereka yang memberontak sudah kepalang tanggung. Darah mereka menggelegak menuntut pertempuran kembali. Entah darah mereka yang tercurah, atau darah jiwa musuh yang berserah. Yang jelas, mereka sudah siap melepaskan keganasan di dalam diri mereka. Bila sudah basah, lebih baik mandi sekalian.

Sayangnya, tidak semua orang di atas geladak yang telah menghunus senjata, menggenggam bedil atau siap pada sumbu meriam sadar bahwasanya mereka tidak sekadar menghadapi manusia. Ada sosok penyihir dengan kekuatan gaib luar biasa yang ikut serta di atas kapal salah satu rombongan lawan yang dipimpin Raja Songkhra saat ini, Dama’ Bintang. Satu-satunya cara untuk dapat menyelamatkan semua orang yang ada di dalam jung ini adalah dengan menerapkan ilmu gaib untuk menahan serangan ilmu sihir Nyi Lenda.

Di sisi lain, Dama’ Bulan lebih beruntung dibanding saudara tuanya karena ia memiliki orang-orang yang memiliki kepercayaan besar kepada dirinya. Datuk Udak dan Danum tidak hanya memercayakan nasib mereka kepada sang junjungan, akan tetapi juga mendukung dengan bermunajat kepada kekuatan ilahiah. Tidak hanya itu, Manok Sabong dan Singa Pati Bangi,  yang sejatinya mengabdi pada sisi yang berlawanan, kini bersikap sangat tenang. Manong Sabong hanya menyandarkan telapak tangannya di hulu keris yang terselip di pinggangnya. Keris itu juga masih nyaman berada di dalam sarungnya.

Singa Pati Bangi memandang ke arah Dama’ Bulan dengan tatapan penuh khidmat. Ombak membuncah dan memercikkan air masuk ke dalam jung yang terhenti di tengah laut, bergoyang-goyang dalam diam karena jangkar kapal telah dijatuhkan. “Aku sepenuhnya percaya dengan Tuan Paduka Dama’ Bulan, Sabong. Tapi di dalam hati, aku tetap berharap kita sedikit saja menjamah nyawa pasukan Tuan Paduka Pangeran Sulong,” ujar Singa Pati Bangi sembari mendengus.

Manok Sabong terkekeh. Ia kini melipatkan kedua lengannya di depan dada. “Kau perlu bersabar diri, Singa Pati Bangi. Sepertinya kesempatan itu tak akan terjadi dalam waktu yang singkat. Lihatlah apa yang akan kita hadapi saat ini,” ujarnya menunjuk ke arah angkasa dengan wajahnya.

Lihat selengkapnya