Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #15

Haluan

Kabut terangkat mengelilingi jung Dama’ Bulan. Serabut tebal putih bagai awan itu memeluk seluruh kapal bagai selembar selimut tebal. Para perajurit, hulubalang beserta penumpang kapal tak satupun yang dapat melihat keluar. Pandangan mereka hanya berjarak sepelemparan batu saja.

Apakah ini ilmu gaib sang pemimpin yang membuat kapal mereka terlindungi dari kejaran pasukan musuh?

Di sisi yang lain, Nyi Lenda yang berdiri di depan Dama’ Bintang sudah mendapatkan apa yang ia mau. Matanya semerah darah yang menghiasai mulut dan wajahnya, menyalang memandang ke depan. Seringai kemenangan tergambar jelas di wajahnya. “Engkau pikir lautan sedang memihak padamu, heh? Engkau dengan lancangnya menantang Nyi Lenda dengan menggunakan laut sebagai pembatas kekuatanku? Jangan bermimpi terlalu indah, anak muda,” seru Nyi Lenda. Kekehannya berubah menjadi tawa melengking. Sebuah bentuk kepuasan sekaligus kelegaan yang memuaskan menjalar di tubuhnya.

Sedari awal perempuan setengah baya itu sudah merasa ciut nyalinya karena begitu ragu dapat menggunakan segala kesaktian dan ilmu sihirnya di atas lautan yang amat tidak akrab baginya tersebut. Ia benci harus mengakui bahwa bisa saja ia kalah dengan permainan ilmu kedigdayaan gaib Dama’ Bulan, anak kemarin sore yang menjaga kerajaannya saja tidak mampu. Harga diri sang penyihir sebagai tokoh yang sangat ditakuti bahkan ketika orang-orang hanya mendengar namanya saja itupun menjadi terluka.

Sebagai hasilnya, ketika mata batinnya bergejolak melihat gumpalan kabut di tengah samudra setelah seharian penuh berlayar mengejar musuh, jiwanya bersorak gembira. Ini adalah semacam pelepasan keraguan atas kekuatannya sendiri. Nyi Lenda terangkat ke angkasa karena begitu senang, bangga dan leganya. Sang shakti Mahadewa tak pernah meninggalkannya.

Dama’ Bintang yang heran dengan apa yang sedang diketawakan dan diserukan orang kepercayaannya dalam bidang ilmu sihir, gaib dan kebatinan itu mendekat ke arah Nyi Lenda. “Apa yang terjadi, Nyi?” tanya sang Pangeran Sulong keheranan. Ia mencoba memandang ke arah mana penasehat kebatinannya itu lihat. Ia hanya mendapatkan kabut bergulung-gulung di tengah samudra. Sedangkan di saat yang bersamaan, langit menggelap dengan awan bergulung-gulung kelam. Sinar kilat memecah di ujung-ujung lengkungan langit.

“Ampun, Paduka Raja. Sudah saatnya patik meminta pengakuan Paduka Raja atas keraguan Paduka Raja terhadap kekuatan sang shakti.  Patik mungkin sempat dirundung rasa ragu bahkan gentar, tetapi kekuatan sang ibu kembali menunjukkan keagungannya,” ujar Nyi Lenda terdengar licik sekaligus penuh kepuasan. Telunjuk tangan kanannya yang kurus berkulit keriput dan menghitam di bagian ujung menunjuk jauh ke arah depan.

Lihat selengkapnya