Hujung Tanah

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #16

Keris

Benturan keras antar kapal tersebut adalah bentrokan dua kekuatan yang saling benci dan secara naluriah akan saling menghancurkan. Pasukan Dama’ Bintang melewati papan-papan panjang yang diselonjorkan menyebrangi dua kapal dengan cepat dan gesit. Papan-papan tersebut melengkung ulet tetapi kuat ketika diinjak-injak. Prajurit lainnya yang benar-benar berada di haluan kapal yang menembus masuk ke lambung kapal sasaran, langsung saja meloncat bagai beberapa ekor bajing. Sisanya melompat ke air dan merambat naik menggunakan tali-tali yang telah mengait di pinggiran kapal.

Kabut masih mengitari kapal, bercampur dengan kepulan asap dari bagian kapal yang terbakar. Suasana juga sudah terlalu ribut. Teriakan demi teriakan sahut-menyahut.

Prajurit Dama’ Bintang menyerang seperti binatang, bagai kumpulan anjing hutan yang kelaparan. Mereka maju menghujamkan tombak mereka dengan dua tangan, menusuk daging dan mematahkan tulang lawan. Keris digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan, terutama ketika mata tombak menyangkut di tubuh lawan, susah untuk dicabut, sedangkan lawan masih hidup dan berusaha menggapai-gapai penyerang dengan tangan-tangan lemah mereka.

Darah mengalir bagai air terjun. Tubuh-tubuh berjatuhan bagai bebatuan dari atas gunung berapi. Hanya saja, alih-alih mendapatkan lawan yang sama beringas dan sama kejamnya, pasukan Dama’ Bintang seperti tak mendapatkan lawan sama sekali. Pasukan musuh seperti orang-orang yang terkesima dengan apa yang sedang terjadi. Dimana kemampuan perang mereka? Pikir Dama’ Bintang. Padahal, sewaktu kapalnya menembakkan meriam ke arah kapal ini, mereka juga sempat membalas dengan memerikan tembakan serupa meski tak berhasil mengenai sasaran dengan baik.

Tak lama kemudian sang raja Songkhra itu menginjak lantai geladak kapal sasaran. Ia satu-satunya orang yang membungkus kakinya dengan terompah. Alas kaki yang berwarna hitam dengan jahitan benang emas tersebut kini telah pula terselimuti darah yang mengalir deras dari pembunuhan besar-besaran yang terjadi.

“Dimana bangsat itu! Aku bahkan tak melihat Singa Pati Bangi dan Manok Sabong. Mana para hulubalang dan pendekar-pendekar kepercayaan yang bersujud menyembah di kaki Bulan? Tak pantas para prajurit rendahan ini mati di kerisku,” ujar Dama’ Bintang kesal. Ucapannya tak benar-benar ditujukan kepada siapapun, walaupun para hulubalang yang berdiri di sekelilingnya mendengar dengan baik serta merasakan hal yang sama pula.

Sejak berangkat dari Indragiri, Dama’ Bintang sengaja menggunakan dua kapal besar dan tiga kapal kecil untuk mengejar jung rombongan Dama’ Bulan. Tiga kapal kecil yang lebih laju diharapkan dapat mengejar jung tersebut lebih dahulu, mengunci dan bila memungkinkan, dapat langsung menyerang serta menahan para penumpangnya. Ketinggalan beberapa hari bukanlah masalah bagi kapal yang lebih kecil untuk mengejar jung raksasa itu.

Belasan kapal perangnya yang lain diperintahkan untuk berlabuh di Indragiri dan sekitarnya buat berjaga-jaga. Namun, dalam beberapa hari pengejaran, dua kapal utama dan tiga kapal yang lebih kecil terpisah. Nyi Lenda sadar, Dama’ Bulan sedang menggunakan kesaktiaannya untuk melakukan hal tersebut. Itulah yang awalnya membuat ia begitu gundah gulana dan sangat tersiksa atas rasa lemahnya. Segala kekuatan dilakukan untuk mengalahkan tidak hanya kesaktian lawan, tetapi lebih kepada ketakutannya sendiri. Tidak mungkin ilmu sihirnya yang mendatangkan ombak, petir dan gemuruh serta beragam jin laut itu bisa dikalahkan oleh gulungan dan gelungan kabut semata.

Lihat selengkapnya