Tiga buah kapal perang lebih kecil yang diutus Dama’ Bintang untuk berangkat lebih dahulu mengejar rombongan Dama’ Bulan yang hendak menuju ke Hujung Tanah nyatanya kehilangan arah. Langit, angin dan ombak tidak menunjukkan tanda-tanda yang dapat mereka gunakan untuk memaknai arah dan alamat. Kabut mendadak muncul, disertai angin bersuhu aneh. Dua hari ketiga kapal itu bahkan tak bisa saling melihat dan mengetahui keberadaan masing-masing. Jarak pandang mereka benar-benar bisa dikatakan terputus.
Hal ini juga terjadi pada dua kapal besar yang menyusul. Dama’ Bintang bahkan tak memerhatikan lagi bahwasanya satu kapal yang berangkat bersama kapal inti yang ia naiki itu juga hilang ditelan kabut.
“Patik sudah melihatnya, Paduka Raja. Perairan ini memang sengaja digunakan tuan Dama’ Bulan untuk menipu kapal-kapal kita. Tuan Dama’ Bulan pastilah sedang merapal mantra untuk mengecoh kita agar lepas dari kejaran,” ujar Nyi Lenda saat itu. Kedua tangannya meraba di udara. Gemerincing gelangnya terus terdengar menyapa angin.
“Apakah maksudmu Dama’ Bulan sebenarnya sudah berada dekat dengan kita, Nyi?”
“Patik sudah merasakannya, Paduka Raja. Berikan patik waktu sejenak lagi, Paduka Raja. Pasti patik akan menemukan dimana kapal tuan Dama’ Bulan bersembunyi.”
“Bersembunyi? Bagaimana caranya kapal sebesar itu bersembunyi di samudra yang luas ini, Nyi Lenda? Tadi kita sempat melihat kepulauan berbatu di sana-sini, tetapi tak terlihat sedikitpun jejak kapal mereka. Apakah mereka ditelan lautan dan bersembunyi didalamnya?” ujar sang raja dengan gusar.
“Paduka Raja harus mau mengakui bahwa berhari-hari kita telah tersesat tak tahu arah. Kapal-kapal Paduka Raja terpencar kemana-mana. Semua ini dikarenakan ilmu gaib tuan Dama’ Bulan yang kemungkinan besar dibantu oleh Datok Udak,” balas Nyi Lenda. Perempuan penyihir paruh baya itu tidak mau disalahkan karena ketidakberhasilan mereka mengejar jung raksasa rombongan Dama’ Bulan, terutama karena sang raja pun sebenarnya merasa mereka telah dibodohi, dikerjai dan ditipu oleh ilmu gaib yang dikuasai sang adik.
Dama’ Bulan meludah ke laut. Wajahnya begitu tegang, gabungan amarah, keputusasaan dan nafsu membunuh yang meledak-ledak. “Aku tak mau tahu, Nyi Lenda. Gunakan kemampuan sihirmu itu untuk menemukan Bulan, istri dan anakku,” tegas sang Pangeran Sulong.
Di sisi lain, salah satu dari dua kapal besar utama rombongan kerajaan Songkhra pimpinan Dama’ Bulan memutuskan untuk menurunkan jangkar. Kabut pekat yang sudah berhari-hari datang menyergap mereka mendadak ditambahi dengan awan menghitam kelam dengan petir menyala-nyala liar menyobek cembungan langit. Sang nakhoda sekaligus salah satu hulubalang kerajaan Songkhra yang berasal dari Temasek itu mencium adanya ketidakberesan. Pasukan sudah ia siagakan untuk menyambut kemungkinan apapun yang terjadi di depan.