Datuk Udak merasakan angin yang berembus telah kembali bersuhu semula. Begitu juga dengan lima orang prajurit pilihan yang ikut berangkat di dalam perahu dari atas jung yang merasakan perubahan udara secara tajam. Dama’ Bulan yang sedari tadi bersemedi dalam keadaan bersila dan menutup mata dengan khidmat, kini juga membuka mata. Mereka berada di sebuah pulau bagian dari gugusan pulau-pulau berbatu lain.
Dama’ Bulan memerintahkan lima prajurit untuk menjaga perjalanannya meninggalkan jung utama dengan perahu, bersama Datuk Udak yang ia minta untuk membantunya pula. Dama’ Bulan sadar bahwa kabut yang muncul mendadak di perairan dangkal ini berasal dari kekuatan tak kasat mata penjaga gaib. Mungkin sekali para penguasa dan mahluk-mahluk adikodrati ini mengendus bau nafsu permusuhan dan angkara murka yang berlayar di atas wilayah mereka.
Ia dan Datuk Udak memang mempelajari ilmu rohaniah. Namun, kekuatan sang saudara laki-laki sulungnya lah yang paling membuat keadaan menjadi semakin mencekam. Nyi Lenda yang berilmu Tantra Bairawa dari sang shakti Dewi Durga itu jelas memiliki kekuatan gelap yang dibawa oleh jiwanya sendiri yang sudah sama kelamnya. Tidak heran bilamana kekuatan lain yang mungkin berasal dari dalam samudra, atau berdiam di bebatuan serta mengambang di udara dalam bentuk kabut-kabut tersebut merasa terancam dengan kehadiran kedua kekuatan berniat menyerang dan bertahan tersebut.
Dama’ Bulan sadar bahwa kuasa agung Mahadewa dan sang shakti, Dewi Durga, adalah baik dan benar adanya. Dewa dewi itu mereka sembah dan hormati sebagai bagian dari kehidupan manusia yang terus berputar dan berulang. Takdir manusia hanya akan terus berjalan bila dimulai dari kelahiran dan diakhiri oleh kematian terlebih dahulu. Oleh sebab itu, pemujaan atas kehidupan, keindahan dan kebahagiaan harus juga diseimbangkan dengan penghormatan terhadap kematian, keburukan dan kesedihan.
Nyi Lenda memilih memuliakan sisi kelam kehidupan demi mencapai keinginan dan keuntungan pribadinya, yang mana itu adalah salah. Kekuatan dan anugrah sang shakti dimanfaatkan untuk tidak hanya memupuk kebencian dan angkara murka, tetapi juga menciptakan diri yang penuh kuasa dan keagungan.
Dama’ Bulan hendak meminta maaf kepada para penguasa wilayah ini dan memohon kepada sang Mahadewa, sang Saiwa, untuk memperlancar perjalanan mereka dan terhindar dari marabahaya yang terus dikobarkan oleh orang-orang yang hendak mencelakai mereka.
Tadinya, ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kapal dengan perahu, para hulubalang dan pendekar terpercaya Dama’ Bulan menolak dengan tegas dengan berpendapat bahwa sang pemimpin akan berada dalam marabahaya. Paling tidak, mereka meminta agar dapat ikut serta dalam kepergian sang Pangeran Muda tersebut agar dapat melindunginya.
Namun, Dama’ Bulan memerintahkan kepada mereka untuk berjaga di kapal, mengawal orang-orang penting kerajaan, terutamanya permaisuri Dama’ Bintang dan putrinya, Nilam Cahya.