Sang penguasa laut dan gugusan pulau di wilayah Batu Ampar nyatanya sudah terlanjur menginginkan darah sebagai tumbal. Kesaktian yang dimiliki Dama’ Bulan sekaligus jiwa pemuda itu yang murni, sama sekali tidak membuat kekuatan gaib ini haus dan tertarik untuk mereguk darahnya. Sebaliknya, kapal-kapal lain yang didapati sedang mengejar jung yang ditumpangi Dama’ Bulan dan rombongannya telah berbau kegelapan sejak awal.
Sang penunggu laut terkekeh kemudian tertawa dalam rupa kabut yang penuh dengan kengerian dan hal-hal yang tak pernah dapat dipahami oleh mata manusia. Maka, bukannya memangsa para manusia yang ada di atas geladang jung yang dipimpin Dama’ Bulan, sang penunggu laut tersebut menyaru dalam kabut. Dengan kekuatan yang membutakan mata para durjana, menggunakan nafsu membunuh yang merajalela, dan sikap manusia yang memuja dosa, sang penunggu lautan tersebut membuat Dama’ Bintang melihat rupa Dama’ Bulan dalam tubuh nakhoda salah satu kapal inti rombongannya yang tersesat oleh kabut.
Dama’ Bintang tak memerlukan waktu lama untuk menyerang kapal orang-orangnya sendiri. Ia juga telah menanamkan ujung kerisnya ke dalam dada sang nakhoda. Pemandangan Dama’ Bulan yang meregang nyawa masih terlihat nyata di mata Dama’ Bintang selagi ia dan prajuritnya membantai semua orang di atas geladak kapal tersebut.
Sembari berteriak memanggil istri dan anaknya, darah terus mengalir membasahi lantai papan sampai ke dinding tepian kapal serta tiang layar. Tidak sedikit yang menetes dan tercurah jatuh ke laut dan digulung ombak, menjadi makanan sempurna bagi para penunggu.
Ombak mereda, langit terbuka.
Kabut pekat yang telah melingkupi mereka perlahan menghilang susut bersama udara.
Suara gemerincing kalung dan gelang Nyi Lenda kembali terdengar mengalahkan suara dan rahasia alam yang sebelumnya membahana.
Wajah si perempuan tua itu menyunggingkan senyum lebar. Bibirnya tertarik sampai ke telinga. Ada rasa kepuasan yang mengisi rongga dadanya melihat kepulan asap dan kobaran api dari geladak kapal di seberang sana.
Tugasnya telah dilaksanakan dengan baik. Ilmu sihirnya juga bekerja dengan apik. Nyi Lenda yakin bahwa junjungannya, Dama’ Bintang, yang telah melompat cepat ke geladak kapal musuh bersama sepasukan prajurit pastilah sudah membantai habis para pengkhianat dan pengecut dari negeri Songkhra. Nyi Lenda juga yakin bahwasanya keris Dama’ Bintang sudah mendapatkan sasaran utamanya.
Kematian Dama’ Bulan pastilah sudah menjadi kenyataan, meski Nyi Lenda masih menerka-nerka nasib permaisuri dan sang putri di tangan junjungan dimana ia mengabdi tersebut.
Teriakan demi teriakan menggema di atas permukaan laut yang mendadak berombak tenang. Nyi Lenda menutup mata dan menikmati nada-nada indah kematian yang digaungkan oleh sang raja. Ia akan menuntaskan, melengkapi dan menyempurnakan pengabdiannya. Ia yakin, kekuatan sihir yang telah ia kuasai selama ini, selama hidupnya, membawanya kepada kuasa yang tak akan dapat dipahami orang lain. Hidupnya tak akan terbatas hanya pada nafas belaka atau bumi yang diinjaknya.