Setelah beberapa hari perjalanan di atas kapal, akhirnya sang nakhoda melaporkan kepada Dama’ Bulan bahwa awak kapalnya telah melihat daratan. Pepohonan hijau mengangkang menyundul kabut dan awan, hitam kehijauan dari kejauhan. Mereka yakin, pulau yang terlihat itu adalah Hujung Tanah. Keagungan serta keangkeran pulau yang menjadi tujuan mereka itu.
Dama’ Bulan merasakan perasaan yang campur aduk. Ia adalah seorang pemimpin sekarang. Umurnya lima belas tahun, usia yang sudah dianggap dewasa di masa itu. Kegundahan sekaligus harapan saling bersaing untuk berada di garis paling depan. Sudah banyak korban nyawa, harta, bahkan perasaan yang tertinggal di belakang sana. Kini, dengan terlihatnya pulau Hujung Tanah, beban masa depan sungguh terasa di bahunya. Ia harus membawa keluarga dan masyarakatnya ke depan pintu gerbang harapan.
Pertama, ia harus membawa mereka semua untuk menghadap ke kerajaan Tanjung Nagara. Ini pun berarti, perjalanan panjang masih akan ia hadapi. Kedua, sesampainya di Tanjung Nagara, ia harus mampu memberikan tempat yang terbaik bagi warga kerajaan Songkhra, bukan sekadar memberikan nasib mereka kepada kerajaan yang meski memiliki hubungan di masa lalu dengan Songkhra, tetap saja merupakan sebuah kerajaan besar sendiri dan berdaulat. Ketiga, ia sendiri masih dihujani rasa tidak yakin atas kekuatan diri sendiri. Ia masih dihantui keraguan atas tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Apakah ia cukup kuat dan tangguh dalam menghadapi hari-hari di depan sana.
Dama’ Bulan menghela nafas, kemudian memerintahkan sang nakhoda untuk mempersiapkan segala hal ketika sampai di tujuan.
Layar dikembangkan lebih lebar. Jung diperlaju dengan tambahan dayungan yang ketat. Angin memainkan pucuk kain ikat kepala Dama’ Bulan. Raut wajahnya mengeras dan sungguh-sungguh. Begitu juga dengan beberapa warga di geladak kapal yang juga sudah awas bahkan mereka akan segera sampai ke awal tujuan sebelum melanjutkan perjalanan lebih jauh ke kerajaan Tanjung Nagara.
Seharian penuh jung mereka berlayar, sampai akhirnya jejeran pepohonan besar yang rimbun bagai bulu-bulu punggung binatang raksasa yang tengkurap menyapa mereka. Perasaan takjub dan takzim atas tanah asing langsung saja menyerang setiap jiwa di atas geladak jung dari Songkhra itu, termasuk kemudian rasa gentar yang menyusul.
“Ampun, Tuanku, Paduka Raja. Patik hendak unjuk tanya. Harus kemanakah jung ini berlabuh?” sang nakhoda datang menghadap Dama’ Bulan lagi.