Hari-hari berikutnya diisi dengan semangat dan kehidupan. Asap mengepul dari api di bawah tungku-tungku masak, sebagai obor penerangan dan membakar rumput sebagai pembuka lahan. Parang dan kapak menebas pohon dan membelah kayu. Dua bangunan kayu utama sudah dibangun dalam beberapa hari untuk Dama’ Bulan dan kerabat-kerabat kerajaan. Bahkan tak lama pula bagi pondok-pondok kayu didirikan dengan mengikatnya pada akar tanaman serta beratap rumbai bagi rakyat.
Senyum perlahan-lahan telah menjangkiti dari satu perempuan ke perempuan lain yang berperan sebagai ibu maupun sebagai istri. Anak-anak mulai berlari-lari tanpa terlalu khawatir dan takut dilarang oleh orang tua mereka. Mereka sungguh telah berada di atas daratan dan bukannya terombang-ambing di lautan atau sungai.
Masa depan masih terhalang oleh gelapnya bayangan pepohonan rapat di pulau Hujung Tanah ini. Kerajaan Tanjung Nagara juga sepertinya masih terlalu sulit untuk dijangkau. Awalnya rakyat Dama’ Bulan mengikutinya untuk selamat dari kekejaman Dama’ Bintang sekaligus sebagai bentuk bakti kepada kebenaran. Sekarang, bila mereka mulai berpikir dengan lebih tenang, Tanjung Nagara sungguh merupakan tujuan yang begitu menantang serta mungkin mustahil untuk ditemukan.
Namun, saat ini bukan waktunya untuk bermuram durja. Mereka harus tetap hidup karena sudah memutuskan mengikuti tuan mereka, yaitu Dama’ Bulan. Maka, sebentar saja daratan asing itu telah menjadi pemukiman bagi warga Songkhra.
Pilihan nakhoda atas persetujuan Dama’ Bulan itu ternyata memang bukan wilayah sembarangan. Sumber makanan berupa tanaman dan buah-buahan liar tumbuh dengan subur. Di ujung aliran anak sungai tempat mata air ditemukan pula sumber ikan yang melimpah. Ikan-ikan sungai ini tumbuh besar-besar dan gemuk-gemuk seperti meminta untuk ditemukan dan dimanfaatkan oleh manusia. Warga merebus, membakar dan memasak ikan di dalam bambu.
Persediaan beras mereka juga dirasa cukup untuk beberapa lama. Namun, mengingat Dama’ Bulan tidak tahu berapa lama mereka akan menetap di tempat ini, ia menitahkan kepada masyarakat untuk membuka lahan lagi di bawah bukit dan menanam padi dari bibit yang mereka bawa. Bibit-bibit padi itu diberikan oleh kerabat kerajaan di negeri Indragiri sewaktu rombongan mereka dikejar-kejar oleh Dama’ Bintang dan pasukannya. Bibit-bibit padi itu nampaknya cocok untuk ditanam di tanah perbukitan pulau ini, meskipun bibit-bibit tersebut berasal dari pulau Tanjung Pinang yang sempat menjadi wilayah kekuasaan kedatuan Sriwijaya.
Dama’ Bulan menyunggingkan senyum setiap kali ia bangun tidur di pagi hari. Ketika asap mengepul di bangunan yang dipergunakan sebagai dapur, bau daging ikan yang diasap dan dikeringkan sampai di cuping hidungnya, suara para warga yang sudah mulai kembali bekerja sesuai dengan peran mereka, atau suara seruan para prajurit berlatih perang yang samar terdengar, Dama’ Bulan merasakan tenang menjalar di dalam rongga dadanya. Mungkin ia masih berada di dalam kesamaran masa depan, tetapi saat ini ia lega rakyatnya bisa berdiam barang sejenak.
“Mohon ampun, Tuanku Paduka Raja. Hamba sungguh memohon ampun karena telah mengganggu tuanku sepagi ini. Namun hamba membawa kabar yang perlu tuanku periksa.”